Jumat, 16 Mei 2008

ipdn..

Rujukan dari Maksud Pasal 72 UU No. 9 Tahun 2002
tentang Hak Cipta:
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
ciptaan pencipta atau memberikan izin untuk itu, dapat dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak
terkait, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
IPDN Undercover
Sebuah Kesaksian Bernurani
Oleh: Inu Kencana Syafiie
Penyunting: Tasaro dan Asep Syamsu Romli
Pewajah Sampul: Bayu Why
Pewajah Isi: Aswi
Diterbitkan pertama kali oleh
Progressio (Grup Syaamil)
Jl. Babakan Sari I No. 71 Kiaracondong, Bandung 40283
Telp. (022) 7208298 (Hunting), Fax. (022) 87240636
Anggota IKAPI
Bandung, April 2007
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
sebuah riwayat hidup memang selalu mencatat
bahwa hidup ini terasa sunyi
perpisahan dan kematian
bagaikan liang lahat di kuburan
tapi terkadang penuh glamour
dikelilingi orang-orang yang dicintai
pernikahan dan kelahiran
di sini, kita butuh Tuhan
dalam kesendirian dan kebersamaan
jadi, apa lagi yang dicari?
bertualang dalam penjara kemiskinan
antara takdir dan perjuangan
aku berjuang mengukir skenarioku
Syafiie, Inu Kencana tetapi, skenario Tuhan juga yang harus aku jalani
IPDN Undercover: Sebuah Kesaksian Bernurani/Inu Kencana Syafiie.;
Penyunting, Tasaro dan Asep Syamsu Romli. — Bandung: Progressio, 2007.
xxiv, 282 him.; 13.5 x 20.5 cm
ISBN: 979-793-131-5
I. Judul II. Syafiie, Inu Kencana
III. Tasaro IV. Romli, Asep Syamsu
Dicetak oleh Percetakan
PT Syaamil Cipta Media, Bandung
PENGANTAR PENERBIT
Setuju. Bahkan saya sudah mengarangnya.
Anda tinggal menerbitkan.
Kalimat pendek itu dikirim Pak Inu Kencana Syafiie lewat
pesan pendek HP ke kami. Sebelumnya, kami menawarkan
kepada Pak Inu, bagaimana jika beliau menyusun segala
kronologis cerita pembongkaran kasus-kasus di IPDN. Sejak
kematian Wahyu Hidayat tahun 2003 sampai kasus paling
mutakhir: Cliff Muntu: April 2007.
Sungguh di luar dugaan, ternyata Pak Inu memang telah
menyusun kisah panjang, semacam autobiografi, sejak tahun
2003 dan selesai pada awal 2006 lalu. Artinya, jauh sebelum
kematian Cliff Muntu mengemuka, naskah itu sudah selesai.
Sebuah kisah membentang yang menggambarkan transformasi
vi
seorang anak kampung di Sumatera Barat menjadi seorang
pendobrak yang mencatatkan diri di bagian depan sejarah.
Sempat muncul diskusi seru di redaksi, ketika naskah
autobiografi ini akan segera diedit. Muncul ide untuk mengubah
bentuk autobiografi ini ke dalam biografi. Artinya, orang
lain yang akan menulis kisah hidup Pak Inu. Alasannya masuk
akal. Momentum yang dipakai untuk menerbitkan buku ini
bisa memunculkan opini publik bahwa Pak Inu sedang memanfaatkan
keadaan. Mumpung nama beliau kembali menjadi
perbincangan, maka pas sekali jika beliau menerbitkan buku
autobiografi. Cara gampang untuk populer.
Pendapat ini sempat mengkristal. Kesan negatif bisa saja
muncul di masyarakat terhadap Pak Inu. Jelas hal itu sama
sekali tidak diingini oleh penerbit. Namun, permasalahan
menjadi tidak sederhana ketika editor mulai membaca naskah
autobiografi ini. Ternyata, Pak Inu ini tidak hanya lantang
berbicara, namun juga pandai menuliskan kata-kata.
Tahapan-tahapan kehidupan beliau tulis dengan begitu
lancar, dalam, dan penjiwaan total. Ditambah dengan selera
humor yang baik, maka tidak ada alasan bagi editor untuk
mengotak-atik naskah ini. Apa jadinya jika tulisan yang begini
bagus kemudian dipindahnamakan menjadi karya tulis orang
lain?
Kami yakin, Pak Inu tidak akan mengamuk, karena beliau
orang yang baik sekali. Namun, tentu saja kami yang digelayuti
beban moral tinggi. Semua pun menjadi serbasalah.
v i i
Jika tetap menggunakan nama Pak Inu sebagai penulis buku
ini, dikhawatirkan muncul opini negatif dari masyarakat.
Sebaliknya, jika menulis ulang buku ini, filsafat hidup, kedalaman
makna, kejujuran bahasa yang dimiliki Pak Inu akan
luntur dan kurang bertenaga.
Akhirnya, tim redaksi pun kembali berunding. Kami sangat
yakin, Pak Inu tidak sedang mencari popularitas, nama baik,
apalagi lembaran rupiah. Sebab, jika dia menginginkannya,
bukan hal sulit untuk mendapatkannya. Toh, sampai detik
ini, Pak Inu sekeluarga masih tetap tinggal di rumah dinas
berkamar dua. Padahal, pegawai dengan golongan Pak Inu
berhak menempati rumah dinas yang jauh lebih besar.
Sampai detik ini pun, Pak Inu masih sering kehabisan pulsa
HP dan susah payah untuk membelinya. Beliau juga masih
bolak-balik mengajar Jatinangor-Banten dengan kendaraan
umum. Beberapa kali, di kantongnya bahkan tidak tersisa
uang untuk ongkos rokok petugas yang setia mengawal ketika
berbagai teror mengancamnya.
Ya, kesederhanaan adalah sebuah pilihan baginya. Artinya,
motivasi materi jelas tidak ada dalam agenda pribadinya saat
menuliskan buku ini. Alasan paling kuat yang tertangkap dari
diri Pak Inu adalah, beliau ingin memberi kesaksian. Apa yang
terjadi di IPDN berdampak sangat luas dan dia ingin memberi
kesaksian bahwa apa yang pernah dia bongkar haruslah terus
diingat sebagai sebuah pelajaran.
v i ii
Kelak, ketika koran-koran tak lagi berebut menurunkan
berita tentang IPDN. Nanti, ketika televisi-televisi berhenti
"menculik" Pak Inu ke studio mereka. Suatu saat, ketika para
politisi tak lagi mengacuhkan Pak Inu setelah sebelumnya
ikut sibuk memanfaatkan popularitasnya, buku ini akan tetap
ada dan memberi kesaksian.
Ya, akhirnya kami mantap untuk menerbitkan naskah Pak
Inu apa adanya. Dalam artian, orisinalitas naskah Pak Inu
tidak diotak-atik. Namun, untuk menghubungkan buku ini
dengan informasi terakhir, tim redaksi berpikir perlunya
ulasan kronologi meninggalnya Cliff Muntu, yang lagi-lagi
memunculkan sosok Pak Inu sebagai orang yang paling berperan
dalam proses pengungkapannya.
Melengkapi naskah inilah yang kemudian menjadi hal rumit.
Keinginan kami untuk sesegera mungkin menerbitkan
buku ini terbentur pada kesibukan Pak Inu yang luar biasa.
Menulis beberapa lembar kronologi pengungkapan kematian
Cliff pun menjadi pekerjaan yang sangat sulit bagi Pak Inu.
Tentu saja persoalannya terletak pada waktu.
Berkali-kali editor penerbit mendatangi rumah Pak Inu
di Jatinangor, dan saat berdiskusi terpaksa berjalan sangat
singkat. Pertemuan pertama dimulai dengan masa menunggu
sampai pukul 23:00, karena Pak Inu sedang memenuhi undangan
Mapolda Jabar dan Mapolres Sumedang berturut-turut.
Setelah Pak Inu tiba, membincangkan banyak hal sepuix
tar materi buku pun menjadi tidak terlalu lepas. Sebab, kami
tidak tega melihat Pak Inu yang sudah begitu kelelahan.
Pertemuan kedua berjalan tak lebih dari satu menit, karena
Pak Inu terburu-buru menyelesaikan beberapa urusan
di kampus tempat dia mengajar. Sorenya, kami kembali bertandang
ke rumah Pak Inu, dan akhirnya mendapat waktu
agak lega untuk berdiskusi. Ketika itu, Pak Inu menyatakan
pentingnya tulisan mengenai Cliff Muntu juga dimuat dalam
buku ini.
Oleh karena itu, Pak Inu meminta satu jam untuk menuliskannya.
Hanya satu jam, karena bakda maghrib, Pak Inu
dan istri beliau harus meluncur ke Semarang, menengok putra
sulung beliau yang sedang sakit." Satu jam cukup. Asalkan
konsentrasi, saya bisa. Asal tidak ada suara ribut, kecuali suara
burung," ujar beliau, masih dengan selipan humor.
Lega sekali rasanya. Sebab, jika sesuai dengan rencana, dalam
hitungan satu minggu setelah Pak Inu menambahkan naskah
tentang Cliff, buku ini sudah terbit.
Lewat Maghrib, ketika kami kembali ke rumah Pak
Inu, ternyata empunya rumah belum berangkat ke Semarang.
Informasi yang membuat kami berdebar, ternyata sepeninggalan
kami sore sebelumnya, Pak Inu kembali dijemput
polisi untuk urusan yang masih terkait dengan IPDN.
Artinya, beliau tidak sempat menulis sama sekali.
Karena kondisi ketika itu begitu terburu-buru, akhirnya
disepakati, Pak Inu akan meluangkan waktu untuk menulis
x
selama ada di Semarang. Nanti, dari Semarang, beliau akan
mengirimkan naskah tersebut lewat e-mail. Jadwal beliau di
ibu kota Jawa Tengah itu tidak terlalu padat. Jadi, kemungkinan
untuk itu masih ada.
Sehari kemudian, dengan jantung dag-dig-dug karena
dikejar deadline, kami menguhubungi Pak Inu di Semarang.
Rupanya, beliau sedang menyampaikan ceramah di Universitas
Diponegoro. Sekali lagi, rencana mengeksekusi naskah
terakhir itu tertunda.
Puncak ketegangan terjadi pada sore hari, ketika Pak Inu
"angkat tangan" untuk menambahkan naskah seputar Cliff
Muntu, karena memang benar-benar tidak ada waktu. Sore
itu juga, beliau sudah harus kembali ke Bandung. Sebab, esok
harinya, pertemuan-pertemuan dengan berbagai pihak sudah
menunggu. "Sudah terbitkan saja. Nanti kalau cetak ulang,
saya lengkapi dengan kasus Cliff Muntu."
Wah, bisa berabe. Kasus Cliff Muntu adalah benang merah
antara naskah buku ini dengan kejadian terkini. Kami tidak
mau mundur. Akhirnya, kami mengambil putusan untuk
mewawancarai Pak Inu di sepanjang perjalanan Semarang-
Bandung. Wawancara itulah yang kemudian ditulis ulang. Ide
sudah nyambung, Pak Inu pun tidak keberatan. Beliau hanya
mensyaratkan supaya wawancara itu direkam. Akhirnya, setelah
berulang kali menghadapi kendala teknis antara pesawat
telepon, alat perekam, dan sinyal HP yang turun naik,
wawancara dengan Pak Inu selesai selepas maghrib.
xi
Pengantar berjudul Puncak Sebuah Perjuangan merupakan
hasil dari wawancara dengan Pak Inu selama beliau berada di
bis antarprovinsi. Bisa dibayangkan seberapa heboh isi bis
itu selama wawancara berlangsung. Sesetia mungkin, proses
transkripsi wawancara itu mendekati kalimat asli Pak Inu.
Sangat melegakan ketika semua unsur yang kami harapkan
ada dalam buku ini akhirnya benar-benar terakomodasi.
Sekarang, semantap Pak Inu yang gemar berkata, "mantap"
sembari bersiul pendek, kami pun merasa mantap menghadiahkan
catatan panjang Inu Kencana Syafiie IPDN Undercover:
Sebuah Kesaksian Bernurani ini kepada Anda.
Bandung, April 2007
Penerbit
xii
PRAKATA
Assalamualaikum wr. wb.
Segala kemuliaan hanyalah bagi Allah, sumber segala hikmah
dan ilmu pengetahuan; shalawat dan salam bagi rasul-
Nya, Nabi Muhamnmad saw.
Selama ini, banyak sekali riwayat hidup orang-orang besar
seperti para raja, para presiden, para jenderal, para menteri,
bahkan juga para rasul dan para nabi diterbitkan. Demikian
pula kisah para ulama, rohaniawan, para syuhada, dan para
sufi. Akan tetapi, tidak sedikit pula penerbitan riwayat orangorang
yang dizhalimi, seperti para buruh, para tukang becak,
para demonstran, para korban perkosaan, bahkan juga para
narapidana yang bertobat.
Pada saat saya membongkar kasus STPDN (2003), permintaan
untuk menuliskan riwayat hidup saya datang bertubitubi.
Alasan yang paling utama muncul adalah karena—secara
x i i i
seorang diri—saya tidak saja melawan satu institusi, tetapi
bahkan satu lembaga departemen tempat saya mengabdi, Departemen
Dalam Negeri RI. Saat itu, orang-orang bertanya,
mengapa saya begitu berani membongkarnya.
Sebenarnya, persoalannya bukan pada keberanian, melainkan
pada terganggunya hati nurani saya melihat kenyataan
yang ada, sehingga benar-benar tergugah untuk menjelaskan
fakta-fakta yang sebenarnya. Saya sadar dengan segala
risikonya: atasan saya menyetop aliran seluruh pintu
rezeki saya, pangkat saya, gaji saya, honor saya, uang jalan dan
uang kuliah saya, bahkan kemungkinan penjegalan saya dalam
menyelesaikan studi doktor dan perolehan gelar guru besar.
Bahkan, banyak sekali teman mengancam dengan surat kaleng
dan SMS untuk membunuh saya, salah satunya dengan
skenario menabrakkan mobil ketika saya berjalan. Akan tetapi,
saya tidak peduli. Bagi saya, hidup ini tidak boleh bergantung
kepada manusia.
Setahun setelah peristiwa itu, saya menjadi populer. Saya
mendapat undangan berceramah dan bedah buku di manamana.
Saya pun banyak diminta keterangan oleh wartawan.
Walaupun demikian, beberapa pihak menyuruh saya tutup
mulut. Pihak ini tidak pernah kehabisan akal. Mereka
membuat kontra-isu bahwa saya mencari popularitas, mencari
uang, mencari jabatan, mencari sensasi, dan Iain-lain. Bagi
saya, hal ini semakin menampakkan bahwa antara saya dan
mereka berbeda paradigma, berbeda cara berpikir, berbeda
xiv
persepsi, dan berbeda maqam. Mereka harusnya bertanya, bukankah
motivasi setiap orang berbeda?
Oleh karena itu, melalui buku ini, saya ingin menjelaskan
kepada dunia bahwa semua itu berangkat dari hati nurani.
Motivasinya hanya karena ridha Allah yang sangat jauh melampaui
self actualization.
Karena banyak psikolog yang berpendapat bahwa tingkah
laku seseorang tidak jauh dari masa lalunya, kesaksian ini saya
tulis bersama riwayat hidup saya dengan penuh kejujuran dari
nurani yang terdalam. Oleh karena itu, isinya tidak hanya berupa
keberhasilan dan perjuangan, tetapi juga banyak sekali
kegagalan dan bahkan riwayat ketika harus terkurung dalam
penjara kemiskinan; mulai dari kelahiran hingga cita-cita
menjelang ajal menjemput.
Billdhi taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum wr. wb.
Jatinangor, 1 Januari 2006
Inu Kencana Syafiie
xv
KRONOLOGI PERJALANAN HIDUP
Tahun
1952
1953
1954
1955
1956
1957
1958
1959
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
1967
1968
1969
1970
1971
Kejadian
Lahir
Masa balita
Masa balita
Pemilu pertama, ayahku memilih PNI
Ayahanda menjadi patih (wakil bupati) di
Payakumbuh
Pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah
Ayahanda terpilih menjadi bupati di Bengkalis
Ikut ayahanda ke Bengkalis
Masuk SD Simalanggang Payakumbuh (kelas I SD)
Berpindah-pindah tempat antara Siak, Bengkalis,
Pakanbaru, Payakumbuh (kelas II SD)
Kelas III SD
Kelas IV SD
Ayahanda meninggal dunia (kelas V SD)
Berjualan ikan asin
Mendapat bantuan anak yatim dari masjid
Sunat
Kelas VI SD, lulus SD
Pemberontakan PKI
Masuk SMP Negeri III Payakumbuh (kelas I SMP)
Kelas II SMP, pindah ke SMP Negeri VIII Jakarta di
Jakarta
Kelas III SMP, lulus SMP
Masuk SMA Negeri V Filial Jakarta (kelas I SMA)
Pindah ke Pangkalan Brandan (kelas II SMA masuk
jurusan Paspal)
Lulus SMA Negeri I Paspal di Kota Pangkalan
Brandan
Pemilu di Binjai
Pindah kembali ke Jakarta
Gagal tes masuk FKUI
Mahasiswa Fakultas Kedokt'eran Universitas Trisakti
xvi
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
Kursus Bahasa Inggris Mozal Ganie dan Sutan
Sulaiman
Menjadi buruh PT CENTEX Jakarta
Ibunda meninggal dunia
Berangkat ke Irian Jaya (Papua)
Mahasiswa Tk. I AIAA Jayapura
Menjadi Praja Tk. I Praja APDN
Operasi ambeien I
Tk. II Praja APDN, Pemilu II
Tk. Ill Praja APDN
Bimbingan skripsi dengan Drs. Moh. Stoffel
Lulus APDN (gelar Bhacaloriat of Art)
Calon PNS Kasubag APK Kesra Pemda Tk. I
Merauke
PNS, Kasubag Humas Pemda
Kursus Humas di Jakarta dan Manado
Berkenalan dengan Indah Prasetiati
Memimpin Teater Pringgandani Jr.
Menjadi Kepala Kantor Kecamatan Edera
Peminangan yang ditolak karena beda agama
Menikah dengan Indah Prasetiati
Menjadi PLT Camat Edera
Pindah ke Jakarta
Menjadi Mahasiswa SI IIP Tk. IV (lanjutan APDN)
Kelahiran Raka Manggala Syafiie
Tk. V IIP
Bimbingan skripsi dengan Dr. Taliziduhu Ndraha
Lulus IIP SI (gelar doctorandus)
Mulai menulis buku
Berkenalan dengan Prof. Dr. Prajudi Atmosudirdjo
Pindah ke Jayapura
Kelahiran Nagara Belagama Syafiie
Pindah ke Serui
Kelaparan empat beranak di Kota Serui
Sekretaris Bappeda Tk. II Yapen Waropen
Khotbah Jumat pertama
Pindah kembali ke Jakarta
x v i i
x v i i i x ix
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
Terbit buku Al Qur'an Sumber Segala Disiplin Ilmu
oleh Gema Insani Press, Jakarta
Pindah ke Bandung
Kelahiran Periskha Bunda Syafiie
Tinggal bersama istri dan tiga anak di kamar GKPN
Berkenalan dengan Faisal Tamim dan Jenderal Rudini
(menjadi konseptor)
Terbit buku Pengantar Ilmu Pemerintahan oleh Eresco,
Bandung
Terbit buku Etika Pemerintahan oleh Rineka Cipta,
Jakarta
Pindah mengontrak rumah di Cipacing
Terbit buku Sistem Pemerintahan Indonesia dari Rineka
Cipta Jakarta
Menunaikan ibadah haji dengan uang 10.000 rupiah
saja
Mengikuti Latsitarda di Lampung
Terbit buku Filsafat Kehidupan oleh Bumi Aksara,
Jakarta
Terbit buku Ilmu Pemerintahan danAl Qur'an oleh
Bumi Aksara, Jakarta
Pindah ke Depok
Menjadi Mahasiswa S2 MAP Universitas Gajahmada
Operasi ambeien II
Terbit buku Hukum Tata Negara oleh Pustaka Jaya,
Jakarta
Terbit buku Ilmu Pemerintahan oleh Mandar Maju,
Bandung
Pindah ke rumah dinas E-25 Kampus STPDN
Terbit buku Al Qur'an dan Ilmu Politik
Terbit bukuAl Qur'an dan Ilmu Administrasi
Tidak mengikuti pemilu, hanya jadi panitia
Istri mulai memakai jilbab
Terbit buku Ilmu Administrasi Publik
Khotbah Idul Fitri pertama
Berceramah bersama Dr. Ir. Bintang Pamungkas di
IAIN Bandung
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Terbit buku Logika, Etika & Estetika Islam oleh
Pertja Jakarta
Pemilu Reformasi memilih PAN
Terbit buku Ekobgi Pemerintahan oleh Pertja, Jakarta
Terbit buku Analisa Politik Pemerintahan oleh Pertja,
Jakarta
Terbit buku Manajemen Pemerintahan oleh Pertja,
Jakarta
Bimbingan Tesis dengan Dr. Warsito Utomo
Lulus S2 dari UGM Yogyakarta (gelas Magister Sains)
Terbit buku Filsafat Pemerintahan oleh Pertja, Jakarta
Gagal menjadi mahasiswa S3 UGM Yogyakarta
Gagal menjadi mahasiswa S3 UI Jakarta
Menjadi Mahasiswa S3 Universitas Padjadjaran
Membongkar Kasus STPDN
Dikawal polisi, berkenalan dengan AM Fatwa (DPR
RI)
People of the Month
Terbit buku SANRI dari Bumi Aksara, Jakarta
Terbit buku Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia
oleh Refika Aditama Bandung
Terbit buku Birokrasi Pemerintahan Indonesia oleh
Mandar Maju Bandung
Terbit buku Pengantar Filsafat
Terbit buku Filsafat Politik
Terbit buku Ensikolopedia Pemerintahan
Bimbingan disertasi dengan Prof. Dr. Djadja, Prof.
Dr. Yossi, Prof. Dr. Herman
DAFTAR ISI
Pengantar Penerbit . vi
Prakata xiii
Kronologis Perjalanan Hidup xvi
PUNCAK SEBUAH PERJUANGAN 1
A. MASA KANAK-KANAK 11
1. Ibunda 11
2. Ayahanda 18
3. Masa Kelahiran 22
4. Ditinggal Ayahanda 25
B. MASA REMAJA 33
1. Pindah ke Pangkalan Brandan 33
2. Ditinggal Ibunda 38
3. Berangkat ke Irian Jaya 44
xxi
4. Praja APDN Itu Lari ke Hongkong 47
5. Di Tengah Belantara Papua 51
6. Perempuan Itu Bernama Indah 56
C. PERNIKAHAN YANG MENGGEMPARKAN 63
1. Pinangan yang Gagal .. 63
2. Berganti Akidah 70
3. Ijab Qabul 74
4. Bulan Madu di Kali Digul 77
D. KELAHIRAN ANAK-ANAK 83
1. Raka Manggala Syafiie 83
2. Nagara Belagama Syafiie 87
3. Periskha Bunda Syafiie 92
E. PERKULIAHAN TANPA AKHIR 99
1. Kuliah Didampingi Istri 99
2. Buku-Buku Selama Strata Satu 103
3. Kembali Didampingi Istri 106
4. Buku-Buku Selama Strata Dua l11
5. Lagi, Kuliah Didampingi Istri 116
6. Buku-Bukuku Selama Strata Tiga 123
F. ORANG MISKIN NAIK HAJI 125
1. Hasrat untuk Berhaji 125
2. Dari Bandung dengan 10.000 Rupiah 128
3. Pinjaman yang Gagal 136
XX
4. Kapan Pertolongan Allah Itu Datang? 139
5. Astaghfirullah, Pakaian Ihram Itu
Kain Kafanku! 142
6. Allah Memberangkatkan Kami 145
7. Kakbah, Daya Tarik Sebuah Magnet 148
8. Gua Hira, Sebuah Perjalanan Nadzar 163
9. Sa'i, Lambaian Tangan untuk Anakku 181
G. MEMBONGKAR KASUS STPDN 183
1. Berkenalan dengan STPDN 183
2. Kasus Pembunuhan 194
3. Kasus Narkoba 212
4. Kasus Seks 215
5. Mertuaku Datang Setelah Berpisah 20 Tahun... 220
6. Mengadu ke DPR RI dan Kapolri 224
7. People of The Month 233
8. Diundang Joger ke Bali 236
9. Dikritik Murid-Murid 240
10. Wawancara dari Pengasingan . 243
11. Kematian-Kematian 246
12. Saya dan Kehidupan 253
H. WARNA-WARNI CERAMAH 259
1. Banjarmasin 259
2. Tanjungpinang 264
3. Semarang : 267
4. Yogyakarta 272
xxii
5. Tangerang 274
6. Banten 275
7. Cirebon 276
8. Padang 277
9. Merauke 279
10. Jayapura 279
11. Bali 282
x x i i i
PUNCAK SEBUAH
PERJUANGAN
Pada Agustus 2006, saya terkejut ketika mengetahui
nama-nama murid saya yang melakukan pembunuhan terhadap
Wahyu Hidayat tetap ada pada daftar wisudawan
IPDN. Artinya, betapa buruk sebuah sekolah yang katanya
berdisplin, namun meluluskan mereka yang membunuh teman
satu sekolahnya.
Pada malam sebelum acara wisuda, saya menelepon Bapak
SBY, presiden Republik Indonesia, tentu saja melalui
juru bicara beliau: Bapak Andi Malarangeng. Lalu, saya meminta
izin untuk membeberkan fakta tentang para calon
wisudawan yang seharusnya ada di balik terali besi, mempertanggungjawabkan
kasus pembunuhan.
Beliau (Presiden RI melalui Pak Andi) mengatakan, "Silakan
bongkar." Maka, saya menghubungi para wartawan
1
untuk menyampaikan data itu. Besok paginya, terbitlah berita
di berbagai media yang bunyinya: "Presiden Melantik
Narapidana". Sehari setelah berita itu terbit, semua orang di
IPDN marah kepada saya.
Saya diadili pada sebuah rapat senat, yang di sana juga
ada Menteri Dalam Negeri: Muhammad Ma'ruf. Saya ditanya,
"Mengapa Anda berlaku seperti itu? Menjelek-jelekan
almameter Anda." Lalu, saya katakan bahwa saya tidak bermaksud
menjelek-jelekkan IPDN. Saya tidak mengada-ada.
"Silakan cek ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahakamah Agung," kata saya.
Setelah mereka mengecek, maka pada malam hari itu,
suasana menjadi tegang sekali. Rupanya kesepuluh praja
yang diwisuda itu harus masuk penjara. Malam itu juga, nama
kesepuluh praja itu dicoret, dan dibuatlah ralat bahwa
mereka tidak jadi lulus. Apa artinya? Artinya, kalau saya tidak
bertindak seperti itu (melapor ke Presiden), para pembunuh
itu diluluskan oleh STPDN (sekarang IPDN).
Jadi, ketika Dr. I Nyoman Sumaryadi, Rektor IPDN,
mengatakan bahwa Presiden tidak setuju sepuluh praja itu
diluluskan, itu karena saya melapor ke Bapak Presiden. Artinya,
saya menyelamatkan Presiden dalam kewibawaan sebagai
kepala negara. Menurut saya, kita tidak boleh tertutup
dalam kasus terbunuhnya seorang calon pamong yang ter-
2
bunuh pada 3 September 2003 (Wahyu Hidayat). Kasus itu
tidak boleh dianggap hilang begitu saja hanya karena sudah
berlalu bertahun-tahun lalu.
Konsekuensi dari laporan saya itu, semua orang marah
kepada saya. "Pak Inu tidak kasihan kepada murid. Tidak
kasihan kepada orang tua murid yang sudah bersiap-siap untuk
menyambut kelulusan anaknya." Saya heran, mengapa
harus melindungi seorang narapidana? Sementara, ketika
jenazah Wahyu Hidayat keluar gerbang IPDN (waktu itu
STPDN) diiringi raungan ambulans, Ketua dan Kepala Biro
Kepegawaian asyik bermain golf sambil tertawa-tawa. Jadi,
di mana keadilan jika kasus Wahyu Hidayat dilupakan saja,
kemudian para pembunuhnya bisa berlaku seenaknya?
Kasus Itu Terulang Kembali
Pada tanggal 3 April 2007, pagi-pagi sekali, murid saya,
seorang muda praja, melapor kepada saya lewat SMS, "Pak
Inu, tadi malam, seorang praja dibunuh. Tolong Pak Inu
bongkar. Kami merasa pilu semua. Berita yang beredar adalah,
jangan sampai Pak Inu Kencana tahu."
Setelah itu, kabar yang berembus adalah, malam sebelumnya,
2 April, ada seorang praja yang tidak kuat saat pelatihan
Pataka. Dia sakit liver. Lalu, para muda praja berkomentar,
"Terjadi lagi satu kebohongan. Itu liver dadakan."
3
Apa pasal? Sebab, penyakit liver selalu dijadikan alasan ketika
ada praja yang terbunuh. Kenyataannya, penyakit liver itu
tidak pernah terjadi secara mendadak. Jadi, pernyataan "liver
dadakan" itu adalah suatu sindiran.
Maka, pagi itu juga, saya telepon Polsek Jatinangor. Saya
katakan, "Saya Inu Kencana, saya hendak melaporkan, ada
murid saya yang terbunuh. Saya curiga. Oleh karena itu, apa
pun yang terjadi, Bapak dengan kekuatan Bapak sekarang juga
berangkat ke Rumah Sakit Al Islam."
Nah, petugas Polsek Jatinangor, tentunya setelah berkoordinasi
dengan Polres Sumedang, kemudian meluncur ke RS
Al Islam Bandung. Di sanalah kemudian terjadi tarik-menarik
antara praja dan polisi. Praja yang ada di sana menginginkan
agar tidak ada otopsi terhadap Cliff Muntu, praja yang dikatakan
meninggal karena sakit liver itu.
Jenazah kemudian dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Di sanalah dokter pemerintah melakukan otopsi. Apa yang
terjadi? Dalam otopsi itu ternyata ditemukan fakta bahwa
testis Cliff pecah, dada dan jantungnya kebiru-biruan. Waktu
itu, dokter belum mengumumkannya. Saya diberi tahu
langsung oleh Kapolsek Jatinangor.
Luka-luka pada tubuh Cliff menandakan terjadinya pukulan
berkali-kali pada dadanya. Apa yang terjadi jika tidak
4
jadi dilakukan otopsi? Cliff Muntu adalah seorang Kristiani.
Artinya, setelah dimakamkan, kemungkinan besar kuburannya
disemen. Dengan begitu, tertutuplah kasusnya selamanya.
Itulah sebabnya, pejabat-pejabat IPDN berusaha
menyuntik tubuh Cliff dengan formalin. Sebab, formalin bisa
membuat memar biru pada tubuh Cliff bisa menghilang. Jadi,
sebuah kebiadaban sedang terjadi dalam kampus yang katanya
terhormat ini.
Esok hari setelah otopsi, pemberitaan "meledak". Ramai
diekspose bahwa Cliff Muntu meninggal tidak wajar. Kemudian,
pihak IPDN memanggil saya. Dr I Nyoman marah
sekali. "Mengapa Anda membongkar kasus ini? Anda pegawai
negeri yang hidup di IPDN. Anda digaji dari IPDN."
Saya jawab, "Justru karena saya tinggal di IPDN. Justru
karena saya mendapat gaji dari IPDN. Saya harus bongkar
kasus ini. Karena seorang dosen tidak akan sampai rela hati
membiarkan muridnya dianiaya hingga mati. Tidak boleh ada
kata kecolongan."
Lalu, mereka masih berpura-pura terpukul dengan kejadian
ini, kemudian bertanya, "Mengapa Anda tidak melapor ke
atasan?" Saya katakan, "Saya tidak ada waktu untuk melapor
ke atasan. Per detik saya harus berjuang untuk menyampaikan
laporan ini kepada polisi. Wilayah kerja polisi adalah seluruh
wilayah Republik Indonesia. Mereka adalah alat negara."
5
Para pejabat itu kemudian terdiam. Esok harinya, saya
dipanggil lagi oleh tim investigasi. Tudingan kepada saya
adalah insubordinasi. Saya kemudian dinonaktifkan dari kegiatan
mengajar di IPDN. Perasaan saya campur aduk, waktu
itu. Ada takut-takut sedikit, sedih, dan ada juga senang.
Namun, apa boleh buat. Ini konsekuensi perjuangan.
Saya dihukum tidak boleh mengajar itu lucu. Seharusnya
orang yang diperiksa itu orang yang menyuntik jenazah Cliff
dengan formalin, menyatakan orang tua Cliff menolak otopsi,
dan mengatakan bahwa penyebab kematian Cliff adalah penyakit
lever.
Ketua DPR RI: Pak Agung Laksono, saja menyatakan surprised
kepada wartawan menanggapi langkah petinggi IPDN
itu. Beliau bahkan berkomentar, jangan-jangan ada banyak
rahasia yang dipegang supaya tidak diceritakan, sehingga saya
dinonaktifkan.
Itulah sebabnya, sehari setelah itu, saya melapor ke DPR.
Sayangnya, bersamaan dengan saya datang ke gedung DPR,
Bapak Agung Laksono berangkat ke Istana Negara.
Ketika saya masuk ke gedung DPR, ada dua orang yang
memperkenalkan diri, dan menawarkan untuk menjadi pengacara
saya. Namanya Pak Petrus Bala Pationa dan Pak
Syahrianto. Wah, saya tidak punya rumah atau mobil. Ada
6
penawaran gratis, ya, Alhamdulillah. Mungkin ini bantuan
dari Allah. Kalau harus bayar, saya tidak kuat.
Tentu saja tawaran itu sangat menenangkan. Sebab, saya
tidak mengerti hukum. Oleh karenanya, saya senang jika
didampingi beliau-beliau. Kemudian beliau berdua hadir bersama
saya menghadap ketua dua DPR RI. Sebetulnya, saya
waktu itu juga sedang ditunggu oleh Bapak Agung Laksono.
Namun, pada saat bersamaan, Pak Agung juga harus bertemu
dengan Presiden di Istana Negara.
Apakah pertemuan Pak Agung dengan Presiden berhubungan
dengan IPDN atau tidak, saya tidak mengetahuinya.
Pastinya, tidak lama setelah itu, Pak I Nyoman diberhentikan.
Waktu itu, saya kembali mengalami peristiwa seperti empat
tahun sebelumnya: dikerubuti oleh wartawan. Hampir
100 wartawan mengerubungi saya. Saya menjadi terseok-seok,
karena merasa malu saja. Akan tetapi, tidak apa-apa. Hal ini
membuat mata rakyat Indonesia menjadi jelas.
Tujuan saya sepanjang hidup adalah mencari kebenaran.
Ketika kebenaran itu terinjak-injak oleh ketidakbenaran, ketidakjujuran,
dan saya tahu betul bahwa kebenaran mutlak itu
hanya pada Allah, maka rasanya, saya pikir, mereka (pihakpihak
yang menutupi segala ketidakbenaran di IPDN) sedang
menginjak-injak ayat Allah.
7
Sejak itu (ketika kembali dikerubuti wartawan), saya menjadi
berkeyakinan, bukan karena opini publik memihak saya,
tetapi saya merasakan, begitu beratnya memperjuangkan ayatayat
Allah. Saya berjalan dengan langkah berat, karena saya
belum makan siang.
Saya diikuti oleh sekian banyak wartawan. Saya membawa
sekian banyak berkas, bertemu dengan Prof Dr. Ryas Rasyid,
bersama bekas murid saya: Drs. Andi Azikin, MSi, yang juga
dikawal. Mungkin, mereka berpikir, keberanian seperti ini
memerlukan pengawalan untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan.
Saya semakin yakin bahwa kejujuran itu akan melahirkan
keberanian. Akan tetapi, keberanian belum tentu melahirkan
kejujuran. Karena, ketika kita jujur mengatakan sesuatu itu
salah, kita harus memiliki keberanian menyampaikannya.
Sejak melaporkan kasus kematian Cliff, praktis saya sangat
sering berurusan dengan polisi. Kepada petugas Mapolsek
Jatinangor, saya menjelaskan memang telah terjadi
pembunuhan. Saya bilang, "Tangkap dulu yang membunuh."
Itulah yang mereka lakukan. Maka, jelas siapa yang melakukan
pembunuhan terhadap Cliff dan apa motivasinya.
Di Mapolres Sumedang, saya hanya menyampaikan datadata.
Sedangkan di Mapolda Jabar saya menjelaskan bahwa
8
Dari 35 praja yang meninggal, 18 di antaranya meninggal
secara tidak wajar.
Orang pasti bertanya-tanya, lantas apa keinginan saya
terhadap IPDN. Ketika mengemuka wacana pembubaran
IPDN, saya tidak satuju. Sebab, itu sama saja membakar lumbung
padi untuk membunuh seekor tikus. Padahal, target kita
adalah menangkap tikusnya. Kalau dibakar, tikusnya akan
lari ke mana-mana, dan itu akan menganggu, menimbulkan
masalah baru.
Artinya, tangkaplah mereka yang bersalah, termasuk saya
sendiri, kalau saya kurang vokal dalam penyelesaian berbagai
kasus ini. Jadi, diperbaiki saja, atau dipecah menjadi
lima bagian. Kalau dulu menjadi duapuluh, sekarang cukup
terintegrasi menjadi lima bagian saja.
Nah, sekarang saya menerbitkan buku autobiografi. Bukan
untuk gaya-gayaan. Bukan untuk mencari popularitas
atau materi. Ini sekadar kesaksian. Suatu saat ketika saya sudah
tidak ada, atau ketika media sudah tidak meliput saya,
buku ini akan tetap berbicara. Lagi pula, banyak orang yang
bertanya-tanya, apa motivasi saya terus konsisten membongkar
kasus IPDN dan menginginkan perbaikan pada sekolah
itu. Buku ini menceritakan siapa saya, kisah hidup saya,
filosofi hidup saya.
9
Insya Allah, orang akan memahami mengapa saya memilih
bersuara ketika tahu bagaimana karakter saya terbentuk.
Sejarah hidup saya memberi pelajaran kepada diri saya sendiri
bahwa kejujuran, tekad, dan kepasrahan terhadap Allah
adalah jalan kehormatan. Kebahagiaan adalah ketika kita bisa
mensyukuri apa yang kita miliki dan menikmatinya. Maka,
saya berharap setelah Anda membaca buku ini, segala tanda
tanya terang sudah. Seterang matahari pada siang hari.
Lepas maghrib,
di atas bis antarprovinsi Semarang-Bandung,
17 April 2007
Inu Kencana Syafiie
10
A. MASA KANAK-KANAK
1. IBUNDA
Dalam usia saya yang lebih dari setengah abad ini, menulis
mengenai Ibunda ternyata tetap mampu membuat mata
saya berkaca-kaca. Saat menutup pintu ruang kerja, saya
membayangkan wanita mulia yang pernah meneteskan darah
karena kelahiran saya itu. Wanita agung yang memberikan
saya air kehidupan hingga usia tiga tahun lebih. Entah berdasarkan
perintah Al Qur'an ataupun atas kasih sayang, bagi
saya, setiap tetes darah dagingnya saya doakan agar menjadi
air yang menggiring tubuhnya ke dalam surga Allah yang suci
dan bersih.
Nama Ibunda adalah Zaidar Syafiie. la guru pada Sekolah
Keputrian Raja Siak Sri Indra Pura pada zaman penjajahan
Belanda sehingga bahasa Belandanya sangat fasih. Ibunda
merupakan putri tertua hasil perkawinan Lihan, nenek saya,
dan Raji yang bergelar Datuak Rajo Pamuncak.
11
eBook by MR.
Adik Ibunda bernama Jalius. la juga seorang guru dan
pernah mengajar bahasa Inggris di sebuah SMP Katholik dan
SMP Negeri III Payakumbuh.
Ibunda merupakan istri kedua dari Ayahanda. Saat menikah
dengan Ibunda, Ayahanda mengaku bujangan dan
ketika itu sedang menjadi camat di Rengat. Pengakuannya
memang tidak salah. Saat itu, Ayahanda sedang bercerai dengan
Ibu Zauwiyah, istri pertamanya. Ibundalah yang menyuruh
Ayahanda kembali kepada Ibu Zauwiyah.
Sebagai orang yang berpengaruh pada zaman Belanda,
tidak ada satu orang pun yang berani memprotes saat Ayahanda
beristri empat orang, termasuk keempat istrinya. Keempat
istri Ayahanda tersebut adalah Ibu Zauwiyah, Ibunda,
Ibu Aminah, dan Ibu Encim.
Ketika menikah dengan Ayahanda, Ibunda meninggalkan
tugasnya sebagai guru untuk selanjutnya menjadi ibu rumah
tangga biasa dan mendampingi Ayahanda dalam berbagai
kegiatan. Sebagai anak Minang yang menikah dengan orang
seberang, Ibunda dituntut harus memotong kerbau untuk pernikahannya.
Anak Ibunda sebenarnya ada enam orang. Akan tetapi,
dua orang meninggal tanpa sempat mendapatkan nama dari
Ayahanda. Baik dari Ayahanda maupun dari Ibunda, saya
adalah anak bungsu. Ibu tiri saya yang pertama melahirkan
Ayahanda dan Ibunda Ibunda dan kakak-kakak saya
Ibu Zauwiyah dan kakak-kakak saya
12 13
delapan orang anak, sedangkan Ibunda melahirkan empat
anak. Jadi, saya adalah anak yang ke duabelas.
Semua kakak memberi panggilan manja kepada saya. Meski
dengan saudara tiri, kami bersaudara gentar untuk berke-
. lahi, terutama saat Ayahanda masih hidup. Ketika Ayahanda
sudah meninggal, usia anak-anak beliau sudah tua, kecuali
saya. Saya ditinggalkan Ayah ketika baru berusia sepuluh
tahun. Sementara itu, ibu tiri saya yang ketiga dan keempat
tidak memiliki anak.
Ibunda meninggal ketika saya baru saja lulus SMA. Saya
sangat terpukul dan kehilangan. Dari kematian inilah saya
melahirkan kumpulan puisi: Kereta Jenazah, Jahitan Ibu yang
Terakhir, Melepas Kepergian Bunda. Sejak SD, saya memang
sudah terbiasa mengarang bebas, walaupun tidak melejit ke
pasaran.
Ibunda lahir tanggal 12 Juni 1912 dan meninggal pada
tanggal yang sama dalam usia enam puluh dua tahun di Jakarta.
Penyebabnya adalah sakit jantung yang menahun.
Ibunda tidak pernah memukul kami, baik anak-anak kandungnya
ataupun anak-anak tirinya, begitu pula muridnya.
Kebaikan-kebaikannya, terutama sebagai orang yang sering
mengalah, dikenal di seluruh tempat beliau tinggal. Pernah
satu kali, kakak perempuan saya ingin merendam tustel yang
waktu itu sangat jarang dimiliki orang. Ibunda membiarkan
14
Masa Kanak-Kanak
hal itu. Sebagai seorang guru, Ibunda juga pandai bercerita
dan mendongeng bagi anak didiknya.
Oleh karena itu, karena sangat memuliakan ibu, saya membenci
cerita Sangkuriang dan Oidhipus Complex. Bagi saya,
kasih sayang dan kemulian kepada orang tua berbeda dengan
cinta antara suami dan istri. Itulah sebabnya, ketika saya
menikah, saya sengaja memilih istri yang badannya tinggi,
jauh lebih tinggi dari saya, agar berbeda dengan Ibunda dan
saudara perempuan saya yang semuanya bertubuh pendek.
Kami memang keluarga pendek.
Sebagai bagian dari memuliakan Ibunda juga, saat saya
berada di dekat pintu Kakbah dan garis Multazam, dua puluh
tahun setelah Ibunda meninggal dunia, yang pertama kali saya
minta dalam munajat itu adalah Allah memasukkan Ibunda ke
dalam surga. Setelah itu, saya baru mengingat doa yang lain.
Ketika saya lahir, Ibunda berusia empat puluh tahun. Oleh
karena itu, yang saya kenal dari Ibunda adalah kesantunannya.
Saya tidak sempat menyaksikannya sebagai orang tua yang
mesra bersuami istri. Yang saya saksikan dari beliau adalah
orang tua yang tinggal membincangkan kematiannya, seorang
ibu dengan kain telekung yang bersujud kepada Allah dengan
mata yang bermakna menatap kehidupan ini.
Mengingat Ibunda dalam bayangan saya berarti mengingat
seorang wanita tua mulia yang darahnya tercucur karena
15
melahirkan saya. Saya pun mengingat, yang paling khas dari
beliau adalah busana ibu-ibu Minangkabau, berkebaya longgar
dan kerudung dililitkan di kepala, berkain sarung dan berjalan
tertatih-tatih. Seperti itulah sosok ibu yang mendampingi saya
selama menjalani masa kanak-kanak.
Suatu saat, saya naik bendi (delman) dan duduk di samping
Pak Kusir, pulang dari kota Payakumbuh menuju Simalanggang.
Walaupun tidak melewati daerah perbukitan,
kenangan saya pada berbagai ngarai (termasuk Ngarai Sianok)
membawa jiwa saya hanyut membawakan lagu Malereng.
Saya memang sedikit pandai bermain saluang (seruling besar
Minangkabau).
Perasaan saya galau. Akan tetapi, saya mencoba menikmati
lagu yang saya nyanyikan sendiri dalam hati itu.
malereng tabiang malereng
malereng tabiang nan bakeh lalu
den sangko langik nan lah teleang
kironyo awan nan manggajuju....
joniah aia sungai tonang,
minuman urang Bukik Tinggi,
16
Tuan kanduang tadonga sonang,
baoklah tompang badan kami1
Ini ternyata firasat yang terbukti pada kemudian hari.
Kalau dihitung, sejak saya mengenal dunia (dua tahun),
sepuluh tahun kemudian Ayahanda meninggal; dua puluh
tahun kemudian Ibunda meninggal; dan saya pun tinggal
menumpang hidup dengan kakak-kakak. Tiga puluh tahun
kemudian, baru saya menikah; empat puluh tahun kemudian,
saya berhaji ke Mekah tanpa membawa uang; lima puluh
tahun kemudian, saya tercampakkan karena membongkar
kasus di tempat saya bekerja. Apakah enam puluh tahun kemudian
saya akan menemui ajal saya? Sempat merasa takut
saya membayangkannya. Oleh karena itu, saya memohon kepada
Allah untuk menambah usia saya sepuluh tahun lagi agar
dapat menyaksikan pernikahan anak-anak.
Dari Freud saya belajar bahwa trauma masa lalu seseorang
akan merangkai sikapnya setelah dewasa. Malereng tabiang-lah
yang "memodali" saya masuk ke dalam sebuah petualangan.
Kematian sangat menghantui diri saya. Akan tetapi, hal itu
1 Ketika melewati perbukitan tebing; kita telusuri jalan yang bekas kita
lalui; saya kira langit yang sudah miring; rupanya awan mendung yang
menggerombol....; jernih airnya sungai tenang; minuman orang Bukit
Tinggi; kakak kandung kedengarannya berhasil usahanya; bantulah untuk
sekadar menumpang hidup.
17
tetap harus dilalui. Perjalanan panjang ini pun harus tetap
kita jalani. Kita tatap "jalan bakeh lalu" (jalan yang bekas kita
lalui).
2. AYAHANDA
Menulis Ayahanda melahirkan kebanggaan, walaupun
sulk bagi anak bungsu kedua belas ini mengingat peristiwa
setengah abad yang lalu: hanya mendapat cerita ten tang Ayahanda
dari kakak-kakak. Meski demikian, saya bersyukur,
tetap dapat "bersentuhan" dengan Ayahanda karena beliau
menulis setiap kejadian pentingnya, mulai dari remaja hingga
detik-detik sakaratul maut merenggut nyawanya. Ayahanda
meninggal pukul 13.00, padahal tulisan terakhir riwayat hidupnya
ia tulis pukul 12.00 wib pada hari yang sama di atas
tempat tidurnya dalam usia enam puluh dua tahun.
Leluhur Ayahanda berasal dari Bawean, Madura, dan
Pulau Bali. Karena pengaruh kakeklah maka ketika hendak
meninggal, Ayahanda mencatat akhir riwayat hidupnya dengan
menyebut, "Sebentar lagi saya menghadap Shang Hyang
Widi Wasa" kendati beliau bernama Abdullah dan ayahnya
bernama Syafiie.
Ayahanda adalah bagian dari empat bersaudara. Dua orang
laki-laki dan dua orang perempuan, yakni Abdullah Syafiie
(Ayahanda, sebagai anak sulung), Fatimah Syafiie (kami me-
18
manggil beliau Mah dan beliau menikah dengan Ayah Lilith),
Aisyah Syafiie (kami memanggil beliau Mbu), dan Ibrahim
Syafiie (kami memanggil beliau Pak Ci).
Ayahanda memulai kariernya dalam dunia pamong praja
sebagai tukang sapu. Karena ketabahan dan keuletannya,
beliau merangkak menjadi clerk, camat, patih (wakil bupati)
dan terakhir Bupati Kepala Daerah Swatantra Tingkat II
Bengkalis.
Ayahanda (1901-1963)
Dalam riwayat hidupnya, Ayahanda mengakui dengan
jujur bahwa beliau adalah seorang pemabuk. Hal itu terjadi
19
karena pergaulannya dengan pejabat Belanda. Akan tetapi,
dengan bangga Ayahanda mengakui bahwa selama masa kerjanya
beliau tidak pernah melakukan korupsi.
Rencana beliau sebagai penguasa ketika itu untuk membuat
kapal yang diberi nama HALDINAARKAI, kependekan
nama dua belas putra dan putrinya, tidak dikabulkan Yang
Mahakuasa. Kedua belas putra dan putrinya yang dimaksud
adalah: Hasan Effendi Syafiie, Ahmad Sulaiman Syafiie,
Latifah Helmi Syafiie, Darmi Wati Syafiie, Iman Parwis Syafiie,
Nirwana Asmara Syafiie, Amar Asyraf Syafiie, Afrida
Habni Syafiie, Rudy Sukma Syafiie, Kama Sudra Syafiie,
Andy Surya Syafiie, dan Inu Kencana Syafiie. Tidak ada di
antara kami yang menyaksikan wafat Ayahanda, kecuali Ali,
anak tiri beliau dari Ibu Aminah.
Kakakku, Afrida Habni Syafiie, sempat bernama Kilan
Habni Syafiie. Karena pamanku juga memberi nama sebagai
tanggungjawab mamak dalam masyarakat Minangkabau,
Ayahanda mengalah. Akhirnya, masing-masing memakaikan
nama pemberiannya sehingga nama Kilan Habni Syafiie berubah
menjadi Afrida Habni Syafiie.
Ayahanda lahir tanggal 8 Agustus 1901 dan meninggal
pada bulan yang sama dalam usia enampuluh dua tahun.
Penyebab wafatnya adalah penyakit liver yang menahun.
Ayahanda dimakamkan di Bengkalis, tanah kelahirannya.
20
Sebagai anak bungsu, saya menolak untuk meminta warisan
apa pun dari Ayahanda. Bagi saya, kerukunan di antara
kami saja sudah saya rindukan walaupun saya dikenal keras.
Kakak saya, Andy Surya Syafiie, terlahir dari ibu tiri saya,
Zauwiyah. Sementara itu, ketiga kakak di atas Andy Surya,
lahir dari Ibunda. Artinya, kami sempat terlahir berselangseling.
Perkawinan poligami ayah memang berbeda dengan perkawinan
poligami kebanyakan orang, yang setelah istri tua
tidak "terpakai" lalu beralih kepada istri muda. Ibunda dan
ibu-ibu tiriku pernah tinggal serumah dengan rukun. Ini saya
rasakan ketika kami tinggal bersama di Bengkalis.
Kerukunan itu ternodai saat terjadi pemberontakan PRRI.
Kami terpisah-pisah selama satu tahun. Kakakku, Latifah Helmi,
ikut suaminya, Mayor Iskandar Marta Wijaya—satu-satunya
orang Jawa di tengah keluarga Minangkabau—ke pemerintah
revolusioner Kolonel Husain. Saat itu, walaupun
masih kecil, saya merasakan kegelisahan Ayahanda menunggu
anaknya ikut dalam revolusi di pedalaman Sumatera.
Satu kata yang saya ingat adalah ketika Ayahanda mengatakan
kepada menantunya: "Is..., tidak akan menang anak
melawan bapaknya." Artinya, PRRI tidak akan mengalahkan
NKRI.
21
Saat itu, walaupun seorang patih, Ayahanda memberikan
kebebasan kepada putrinya dengan mengatakan, "Kamu ikut
ayah atau ikut suamimu?" Kakak saya menjawab bahwa ia
akan ikut suaminya. Ayahanda pun menegaskan, "Bagus...,
itulah pengabdian istri kepada suami!" Mereka pun berpisah
untuk waktu yang lama dalam pertempuran yang dikenang
bangsa ini.
3. MASA KELAHIRAN
Saya lahir pada 14 Juni 1952 di Nagari Simalanggang, tujuh
kilometer dari Kota Payakumbuh. Ketika itu, Ayahanda
berumur lima puluh satu tahun dan Ibunda berumur empat
puluh tahun. Jadi, saya adalah sisa terakhir kemampuan mereka
sehingga banyak orang mengatakan bahwa saya anak
sisa. Bahkan ada yang mengatakan bahwa retak tangan saya
bergaris lurus melintang. Hal itu menunjukkan perlambang
anak sisa tersebut.
Keseluruhan nama saya diberikan oleh Ayahanda yang sudah
beliau rancang lama dalam riwayat hidupnya. Saya tidak
terlalu tahu persis arti INU. Ada yang mengatakannya sebagai
singkatan I Gusti Ngurah Ungu karena Ayahanda senang
mempergunakan bahasa Sansekerta dari nenek moyang beliau
sebelum masuk Islam. Dalam bahasa Jepang, INU berarti Anjing.
Meski demikian, di negeri Sakura, nama binatang ini
22
ternyata tidak berarti jelek. Kencana berarti emas, sedangkan
Syafiie adalah nama ayah dan kakek saya.
Sebagai anak kedua belas dan bungsu, saya sulit menyuruh
orang lain. Biasanya, malah saya yang disuruh. Inilah yang
berisiko dalam kehidupan saya selanjutnya: sulit mengerjakan
pekerjaan bersama-sama. Saya senang bekerja sendiri, bahkan
tidak mau sama sekali mencontek karya orang lain. Saya
mencintai keaslian, kemurnian, kesetiaan, dan pengorbanan
yang tulus ikhlas sehingga saya tidak senang induk ayam
meninggalkan anaknya. Anak kucing yang terpisah dari induknya
saya kembalikan sehingga saya terlambat ke sekolah.
Sebagai anak sisa, saya memiliki kelainan. Saya tidak
mampu dan tidak berkenan membayangkan Ayahanda dan
Ibunda muda bercinta. Bagi saya, bayangan mereka berdua
mesra dalam kasih sayang yang agung. Itulah sebabnya, bukubuku
saya berhasil menulis berlembar-lembar perbedaan cinta
dan seks. Bagi saya, cinta memiliki pengorbanan, sedangkan
seks memiliki kepemilikan. Oleh karena itu, pada suami dan
istri lahir cemburu.
Saya menerima ASI selama lebih dari tiga tahun dan tidak
pernah berpisah dengan Ibunda sampai kematian menjemput
beliau. Untuk menghormati kemuliaan Ibunda, saya
menginginkan sosok istri saya bertolak belakang dengan figur
Ibunda. Karena Ibunda pendek, kecil, dan penuh kasih
sayang keibuan, saya menginginkan istri saya tinggi, besar,
23
seksi, menantang, dan beringas. Sayang, sosok saya yang
mencintai kesetiaan, kelembutan, dan kemurnian membuat
saya lebih merindukan istri yang perawan, sangat pandai merawat
anak-anak, dan setia.
Akibatnya, saya berkepribadian ganda. Karena saya
menginginkan istri yang seksi tetapi setia, maka lahirlah kegemaran
saya menyanjung bintang film yang menghormati
keluarga tetapi seksi dalam penampilan, seperti Sophia Loren,
Anita Ekberg, Mamie van Doren, Isabella Sarli. Saya sempat
bertahun-tahun mengumpulkan fotonya dan mendapat balasan
surat dari yang bersangkutan. Pertanyaannya, dapatkah
saya memperoleh kekasih yang seperti ini? Jawabannya saya
buktikan dengan pencarian panjang tiga puluh dua tahun.
Saya lumayan pandai melukis. Selain pemandangan dan
hewan di sekitar, saya juga melukis wanita cantik. Akan tetapi,
jalan hidup saya tidak memungkinkan untuk melanjutkannya,
kecuali pada beberapa buku saya yang saya terbitkan sehingga
tidak perlu lagi membayar pelukis untuk mengerjakannya.
Lukisan yang paling saya sukai adalah kelembutan hewan
kecil, kucing yang manja, kuda yang garang, dan gunung yang
menjulang. Untuk wanita, saya melukis juga kelembutan atau
kegarangannya yang menantang.
Saat bersekolah di kampung, untuk pelajaran matematika,
hanya sedikit yang menjadi saingan saya. Akan tetapi, sewaktu
pindah ke Bengkalis, saya menemukan kesulitan untuk menjadi
juara sekolah. Selain pesaing yang banyak, mungkin juga
karena saya terlalu sering pindah sekolah. Sudah syukur tidak
pernah tinggal kelas sampai lulus SMA. Bayangkan, sejak
SD sampai SMA saya pindah ke sebanyak tujuh kota, yaitu
Payakumbuh, Bengkalis, Pakanbaru, Siak Sri Indrapura, Jakarta,
Binjai, dan Pangkalan Brandan.
Dalam mempelajari agama, saya tidak belajar mengaji ke
masjid. Orang tua hanya mendatangkan guru mengaji yang
mengajar saya tidak sampai selesai. Oleh karena itu, saya tidak
pernah khatam Al Qur'an. Saya pun tidak pernah masuk TK.
Saya mendapat kesempatan khitan baru pada usia tiga
belas tahun melalui seorang mantri rumah sakit bernama Darma.
Saat itu, nenek saya, Lihan, berkomat-kamit berdoa, sementara
Ibunda bersembunyi karena ketakutan.
4. DITINGGAL AYAHANDA
Ayahanda adalah seorang bupati. Beliau dilantik di kota
kelahirannya, Bengkalis. Sebelum menjadi bupati, beliau adalah
wakil bupati di Payakumbuh. Saat itu, kedua kota tersebut
masuk dalam wilayah Sumatera Tengah. Kini, kedua kota tersebut
terbagi ke dalam dua provinsi yang berbeda, yaitu Riau
dan Sumatera Barat.
Ketika itu, saya masih belum masuk SD. Akan tetapi,
masih kental dalam bayangan saya, kami sering dijemput di
24 25
pelabuhan dengan rombongan yang besar. Ketika saya "diwawancarai"
Ayahanda, kami berdua difoto dan orang lain
tertawa riuh rendah.
Seluruh istri Ayahanda, termasuk Ibunda, tinggal di
satu rumah. Tidak pernah ada larangan atau protes kepada
Ayahanda. Saya disering dipanggil ibu tiri saya dan disuruh
melucu. Itulah sebabnya, dalam benak dan doa saya sampai
saat ini, saya memohon agar Ibunda dipertemukan dengan
semua ibu tiri saya di Surga Firdaus yang dirindukan umat
beragama.
Pernah sekali saya ikut rombongan Ayahanda ke Pekanbaru.
Beliau menunjuk dengan penuh wibawa bahwa Jembatan
Rantau Berangin akan jebol jika kayu yang menumpuk di
tiang jembatan itu roboh. Ayahanda mengatakan untuk tidak
sembrono dan meminta semuanya untuk peduli. Saya senang
karena orang lain patuh dan mencatatnya.
Saya tidak menyangka bahwa pada kemudian hari saya
juga menjadi seorang camat. Karena Ibunda seorang guru,
akhirnya saya menggabung profesi keduanya dalam satu profesi
saya kini, dosen ilmu pemerintahan.
Suatu sore di Bengkalis, Ayahanda membawa saya berjalanjalan
dengan sepeda. Ini jarang dilakukan karena saya berada
di Payakumbuh. Sepanjang jalan, orang mengangguk karena
kami tidak naik mobil. Banyak China yang mengajak Ayahanda
berbincang dan saya diperkenalkannya kepada mereka.
26
Satu saja yang saya tidak suka dari Ayah, di meja kerja
Ayahanda banyak botol minuman keras. Akan tetapi, kami
tidak boleh protes. Meja kerja yang rapi itu tidak boleh diganggu.
Semua kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ketika
menginjak kelas dua sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar),
saya mendapat kabar bahwa Ayahanda meninggal dunia. Ketika
itu, kami sedang di Payakumbuh. Seluruh kakak saya
sedang dikuliahkan Ayah ke Yogyakarta. Kami sekeluarga
kelimpungan karena kehilangan biaya. Ada yang kuliahnya
selesai dan ada pula yang tidak, terutama saya sendiri. Pasalnya,
jarak saya dengan kakak nomor sebelas saja sekitar delapan
tahun.
Saya dan Ibunda berangkat ke Bengkalis. Sepanjang perjalanan
yang jauh dan memakan waktu berhari-hari itu, saya
lihat Ibunda menangis.
Sampai di Bengkalis, saya langsung ke makam Ayahanda.
Tanah pekuburannya masih merah. Kami menangis bersama.
Saat itu, tidak semua kakak hadir.
Ayahanda adalah bupati miskin yang tidak korupsi. Kapal
yang rencananya akan memakai nama kami pun tidak jadi
dibuat. Itu hanya tinggal cita-cita yang sulit dicapai.
Hari-hari selanjutnya kami alami dengan pahit. Setelah
saya pulang ke Simalanggang, Payakumbuh, saya berjualan
27
ikan asin. Saya sempat beberapa kali, setiap Hari Raya Idul
Fitri, memperoleh pembagian baju anak yatim dari masjid.
Satu per satu, sawah dijual Ibunda untuk biaya sekolah
kakak.
Sekitar dua tahun kemudian, kakak saya, Afrida Habni
Syafiie, menikah dengan Mohammad Rifai S.H. Beliau membawa
kakak saya ke Surabaya sehingga harus pindah dari Universitas
Gajah Mada ke Universitas Airlangga. Gelar dokter
gigi ia selesaikan di kota pahlawan ini. Sementara itu, kakak
ipar saya tetap beralumni Gajah Mada.
Waktu pernikahannya, kami tidak hadir karena Ibunda
malu, tidak memiliki uang. Hal itu sudah pasti akan memberatkan
kakak saya. Oleh karena itu, Ibunda menangis di
kampung. Saya hanya dapat menyaksikan semua itu sambil
memijit punggung beliau.
Setelah tamat SD, saya melanjutkan ke SMP Negeri III
Payakumbuh. Walaupun di SD hanya mendapat juara tiga,
tetapi setelah SMP saya mengalahkan pesaing saya dengan
merebut juara umum kedua. Susila Sastri, pesaing yang dapat
saya kalahkan itu, belakangan saya dengar telah menjadi
dokter spesialis di Kota Padang, ibukota Sumatera Barat.
Saya hanya bertahan satu tahun di Payakumbuh. Kakak
saya, Kama Sudra Syafiie, membawa saya ke Jakarta bersama
Ibunda dan Syawardi (saudara sepupu kami). Saya memanggil
28
kakak saya ini dengan sebutan "Uda" dan kakak saya, Rudy
Sukma Syafiie, saya panggil "Iyan". Sementara itu, kakak saya,
Andi Surya Syafiie, saya panggil "Abang", seperti yang lain.
Di Jakarta, saya masuk sekolah di SMP Negeri VIII Jakarta.
Di sana, persaingannya sangat berat. Baru setelah di
SMA Negeri V Filial saya kembali menjadi juara kelas.
Saya dan Syawardi sangat merasakan, kami, yang berasal
dari pedalaman Sumatera, tiba-tiba harus menjadi anak Jakarta.
Di sini, sudah barang tentu kami menjadi orang yang
paling kampungan. Bayangkan saja, dari Jalan Salemba, tepatnya
Gang Haji Murtado, kami harus berjalan kaki sampai
ke Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Kami naik tangga berjalan
(eskalator) di Toserba Sarinah Jakarta dan ditangkap satpam
karena tidak memakai sandal.
Rasanya waktu itu asing. Pengalaman di Simalanggang
yang jaraknya tujuh kilometer dari Kota Payakumbuh, orang
tidak perlu memakai sandal kalau hendak mandi ke sungai.
Untuk buang air besar saja kami menggunakan sungai. Walaupun
anak bupati, itu hanya berlaku di Bengkalis. Di Simalanggang,
saya tetap saja anak kampung.
Bertahun kemudian, kehilangan Ayah semakin memilukan
saya. Bukan saja karena saya tidak merasakan "dibiayai" Ayah,
melainkan juga karena rasa rindu. Saya iri dengan kakak saya
yang pernah ditampar Ayahanda karena kurang jujur. Saya,
29
yang cinta kepada kejujuran, tidak pernah merasakannya.
Saya ingin ditampar, saya ingin diskusi, saya ingin berbincang
tentang kecurangan dan kejujuran manusia. Pokoknya, saya
rindu bercerita dengan Ayahanda. Oleh karena itu, saya sering
memutar lagu Rinto Harahap yang berdendang tentang
ayahnya.
Di mana akan kucari
Aku menangis seorang diri
Hatiku selalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
walau air mata dipipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Lihatlah, hari berganti
Namun tidak seindah dulu
Datanglah aku ingin bertemu
Untukmu aku bernyanyi
Saya kembali ke sajadah subuh itu. Seuntai doa pun mulai
membasahi bibir saya:
Ya Allah, ampuni kesalahan Ayahanda. Seberat apa pun beliau
bersalah kepada-Mu, jadikan setiap langkahnya dari muda sampai
tua menjadi langkah yang menggiring tubuhnya ke rumah-Mu yang
indah. Jadikan seluruh debu yang menempel di tubuhnya menjadi
debu yang menggiring tubuhnya ke surga-Mu yang bersih. Saya
nadzarkan tubuh saya menjadi anak yang shalih, agar doa saya
Kau terima.
Saya tersendat. Ada rasa perih di pangkal hidung saya.
Ada rasa sunyi menghabiskan lagu ini. Ada rasa akrab dengan
sajadah ini.
TITIP RINDU BUAT AYAH
Ebiet G. Ade
Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau tampak tua dan lelah
Keringat mengucur deras
Namun engkau tetap tabah
Meski nafasmu kadang tersengau
Memikul beban yang makin sarat
Kau tetap bertahan
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
30 31
Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk
Namun semangat tidak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia
Ayah
Dalam hening sepi ku rindu
Untuk ... menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang .... Banyak menanggung beban
32
1. PINDAH KE PANGKALAN BRANDAN
Rasyidin adalah adiknya Kak Upik, kakak ipar dari kakak
saya nomor sembilan, Rudy Sukma Syafiie. Kakak saya yang
satu ini agak tidak teratur hidupnya. Saat kecil saja, ia berani
melawan Ayahanda. Hal itu semakin menjadi-jadi setelah
Ayahanda berpulang ke rahmatullah. Ia malahan dipecat dari
Akabri Laut gara-gara waktu itu ikut melawan KSAL Jenderal
Martadinata melalui Gerakan Perwira Progresif Revolusioner
(GPPR). Risikonya tentu saja dia harus hengkang dari akademi
terhormat tersebut.
Untunglah kakak saya itu kemudian mendapat jabatan di
Pertamina, sebuah BUMN bergengsi. Setelah itu, ia kemudian
menikah dengan Kak Upik. Setelah menikah, Kak Upik diajak
kakak saya ke Pangkalan Brandan, salah satu lokasi minyak
Pertamina. Kedua anaknya, Rina Sukma Syafiie dan David
33
B. MASA REMAJA
eBook by MR.
Chandra Viasco Syafiie, lahir di kota minyak ini. Setelah
dewasa, Rina menikah dengan dokter gigi yang berdinas di
AL. Sementara itu, David sendiri, setelah menamatkan SMA,
melanjutkan pendidikan ke Akabri Laut, seperti ayahnya. Saat
buku ini ditulis, ia berpangkat kapten laut marinir.
Suatu saat, melihat Rasyidin pindah ke Pangkalan Brandan,
saya juga ingin ikut pindah ke sana lewat Medan. Apalagi,
saat itu saya belum pernah naik pesawat udara. Masalahnya,
tiket yang tersedia hanya untuk Kak Upik. Akhirnya, saya
ikut secara nekat dengan Rasyidin. Setelah pesawat itu melaju
dengan kencang di udara, pemeriksaan tiket kami rasa
tidak akan melemparkan kami turun ke bumi, karena sudah
meninggalkan Jakarta. Akan tetapi, bagaimanapun, kami adalah
penumpang gelap. Hal inilah yang kemudian membuat
kakak saya di Medan harus dipotong gajinya.
Saya kemudian sekolah di SMA Negeri Pangkalan Brandan.
Sementara itu, Rasyidin bersekolah di salah satu SMP
swasta. Pada tingkat SMA inilah saya belajar merokok. Untungnya
tidak sampai kecanduan karena saya juga khawatir
dihajar Rudy, kakak saya.
Kami tinggal di rumah Kepala Kantor Pos Pangkalan
Brandan. Kami tidak memiliki hubungan keluarga dan tidak
ada pula hubungan kedinasan apa pun dengannya. Akan tetapi,
tanpa bayar dan tanpa permisi, kami diperbolehkan tinggal
di sana. Masya Allah, luar biasa kebaikan hatinya.
34
Setengah tahun kemudian, Ibunda datang dari Jakarta
karena Kak Upik hendak melahirkan. Akan tetapi, kata Kak
Upik, alasan sebenarnya karena rindu kepada saya. Buat saya,
itu tidak menjadi persoalan. Baik karena anaknya atau karena
cucunya, yang penting saya jadi memiliki sumber keuangan
karena Ibunda akan banyak mendapat kiriman uang dari
anak-anaknya yang lain.
Sudah dua kali saya melihat orang cantik dalam hidup
saya. Pertama kali waktu SME Namanya Jenni. Kemudian
waktu SMA. Namanya Sri. Akan tetapi, keduanya bukan tipe
saya karena pendek, kecil, dan kata orang ada panunya. Wah,
lucu deh.
Saat SMA, saya mulai mencoba main drama dan melawak.
Akan tetapi, kebanyakannya ternyata tidak lucu. Saya malu
sekali. Meski demikian, yang membanggakan adalah saya
berhasil melukis lukisan Baliho sebesar dua belas meter panjangnya
dan empat meter tingginya. Uang honornya saya belikan
sate padang untuk Ibunda.
Saya lulus dari SMA Pangkalan Brandan tanpa prestasi apa
pun. Kepindahan membuat nilai saya berantakan. Bahkan,
hampir saja saya tidak boleh mengikuti ujian karena ijazah
SMP saya tertinggal di Jakarta sehingga harus ujian di SMA
Negeri Binjai. Untunglah, hal ini tertanggulangi. Ijazah
SMP saya dikirim dari Jakarta sehingga saya tetap ujian di
SMA Negeri Pangkalan Brandan. Semua itu berakibat pada
35
kegagalan saya mengikuti tes penerimaan mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Ibunda dan Rasyidin menyusul ke Jakarta setelah saya
mendahului mereka karena ingin cepat mencari tempat kuliah
di Pulau Jawa. Saat itulah pertama kali saya naik kereta api
tanpa membayar dan dimarahi masinis. Saya berkeliling mencari
sekolah di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan
Bandung. Lama saya kagum pada Universitas Gajah Mada
dan berkeinginan untuk memasukinya. Inilah yang kemudian
kelak saya syukuri karena cita-cita tersebut ternyata terkabul,
meskipun setelah tigapuluh tahun kemudian.
Gagal masuk FKUI membuat saya mengikuti bimbingan
belajar pada Drs. Medical Sikky Mulyono sekaligus kursus
bahasa Inggris pada Mozal Ganie. Selain itu, saya mulai dipengaruhi
oleh buku bahasa Inggris karangan Sutan Sulaiman
yang judulnya Sistem Limapuluhjam.
Karena keinginan saya untuk menjadi dokter tetap ada,
saya mohon kepada Uda untuk membiayai kuliah saya pada
Fakultas Kedokteran Trisakti, sekaligus kos di Grogol. Sebenarnya,
permintaan ini merupakan permintaan yang tidak
tahu diri. Karier kakak yang saya panggil Uda sebagai pebisnis
itu sedang jatuh bangun. la bahkan terkadang menginap
di tempat saya karena dikejar-kejar orang yang menagihnya.
Akan tetapi, rasa tahu diri saya masih lemah tampaknya. Saya
malah merasa happy dengan berbagai persoalan.
36
Di FK Usakti inilah saya berkenalan dengan Rudy Hartono,
yang ketika itu namanya melejit karena kemenangannya
di All England. Kami berfoto bersama sebagai teman kuliah.
Saat itu, tepatnya tahun 1971, ia dinobatkan menjadi "Pangeran
Trisakti". Sementara itu, "Ratu Trisakti" dimenangkan oleh
Heidy yang bibirnya seksi.
Begitu mulai ditagih uang SPP, saya hengkang dari Trisakti.
Apalagi, uang praktik terasa sangat menyulitkan. Tiga
tahun kemudian, saya mulai mengikuti kehidupan Jakarta.
Saya pengangguran dan mencari kerja ke sana sini untuk dapat
memenuhi kehidupan sehari-hari. Ibunda mulai didera
sakit jantung. Keluhan dari anak-anaknya rupanya beliau pendam
dalam batin yang kemudian memunculkan dampak buruk
pada tubuhnya.
Uda kemudian menikah dengan Mbak Ning yang setahun
kemudian melahirkan anak mereka, Melly Society. Ibunda
senang sekali memperoleh cucu yang beliau tunggui di Rumah
Sakit Santo Carolus berhari-hari itu.
Kak Upik maupun Mbak Ning sebetulnya berebut kasih
sayang dari Ibunda. Akan tetapi, saya lihat beliau adil saja
membagi perhatiannya kepada kedua menantu perempuannya
itu. Sayang, kehidupan kami sangat sulit. Beliau mulai
mencari utang sepanjang Kota Jakarta.
37
Dalam kondisi seperti itu, ada tawaran dari kakak saya
di Irian Jaya agar kami pindah saja ke Jayapura. Akan tetapi,
dari tahun ke tahun, hal itu tinggal rencana. Rasanya, kota itu
terlalu jauh untuk dikunjungi. Sampai kemudian, terjadilah
musibah yang paling saya takuti. Ibunda terenggut ajalnya di
atas mobil butut kakak saya di bawah Jembatan Semanggi. Saya
marah kepada Allah. Saya kecewa dan saya mulai menghadapi
perubahan hidup yang drastis. Saya berpikir tentang rencana
Allah kepada saya dengan mencabut nyawa Ibunda tanpa sakit
terlebih dahulu.
2. DITINGGAL IBUNDA
Hari itu tanggal 12 juni 1974. Sebenarnya, saya akan
berulang tahun. Akan tetapi, inilah satu-satunya tahun yang
saya tidak sadar bahwa ulang tahun akan berlalu begitu saja.
Peristiwa besar itu terjadi tahun ini. Ibunda, tanpa sakit yang
membuatnya harus terbaring di rumah sakit ataupun di
rumah, tiba-tiba berpulang tanpa pamit. Padahal, saya baru
saja diterima di PT Centex, sebuah perusahaan milik Jepang.
Saya tidak lagi melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti karena kesulitan biaya.
Ibunda mengantarkan saya untuk terakhir kalinya di pintu
gerbang rumah di Jalan Pramuka, Jakarta. Rumah kontrakan
kami yang murahan kami tinggal bersama kakak saya yang
nomor sepuluh.
38
Sebenarnya, saat itu Ibunda sedang bahagia karena cucunya
dari kakak saya, Kama Sudra Syafiie, baru saja lahir.
Anak itu diberi nama Melly Society Syafiie. Walaupun beliau
sakit jantung, batinnya sedang terobati sehingga bahkan tidak
peduli akan larangan makan garam dari dokter. Di samping
itu, beliau takut orang lain tidak suka dengan makanan tawar.
Oleh karena itu, beliau pun mengalah.
Setelah mendapat lambaian tangan Ibunda, pelan-pelan
saya ditelan kabut subuh karena berangkat jam 04.30 wib.
Wiajah Ibunda begitu jelas dengan tangan melambai, tanpa
pesan dan tanpa peringatan. Beliau hari itu akan ikut kakak
saya untuk mengambil honornya sebagai karyawan di salah
satu perusahaan bisnis.
Saya tidak mengerti, apakah peristiwa drastis tersebut
menggambarkan ketidak-beruntungan hari itu atau hal lainnya.
Yang jelas, Ibunda meninggal dunia di mobil kakak
saya karena serangan jantung mendadak. Di PT Centex, saya
dipanggil atasan saya, seorang Jepang. Saya dirangkulnya. la
berucap, "Harusa Sabaru!" Maksudnya, harus sabar. Maklum,
orang Jepang tidak mampu mengakhiri kata dengan huruf
konsonan.
Saya melihat ada tetangga yang menjemput saya. Saat saya
tanya, dia menjawab bahwa Ibunda sakit dan tidak apa-apa.
Akan tetapi, feeling saya sebagai anak menggelora. Tiba-tiba,
saya pun menangis.
39
Turun dari angkutan kota rasanya lama. Apalagi, jarak dari
jalan raya sampai di rumah terlalu jauh. Saya berlari untuk
mempercepat langkah. Begitu saya melihat bendera kuning,
perasaan tidak enak menyelimuti tubuh. Orang-orang yang
berkerumun berseru ramai, "Anak bungsunya datang!"
Saya melayang di atas bumi. Tanah terasa turun terlalu
jauh. Saya terjatuh dan kembali berdiri. Saya melihat, di atas
tempat tidur di tengah ruangan, Ibunda terbaring dikelilingi
orang banyak. Mereka menyingkir semuanya dan saya menangis
sejadi-jadinya.
Saya mendengar komentar bahwa daripada diam, lebih
baik saya menangis. Rasanya komentar itu tidak terlalu baik.
Akan tetapi, biarlah mereka berkomentar. Meski demikian,
komentar itu tidak bisa hilang sampai saat ini.
Saat itu, saya memohon kepada siapa saja agar sayalah
yang akan memandikan jenazah agung tersebut. Saya siram
perlahan-lahan. Saya sabuni sekujur tubuhnya hingga rahim
tempat saya bernaung sembilan bulan sepuluh hari.
Saya kembali tidak kuat. Apalagi ketika melihat di mana
saya diberikan air kehidupan. Bumi terasa menjauh lagi. Saya
berusaha untuk tidak pingsan. Orang-orang mengangkat
Ibunda. Saya pun lalu mengambil air wudhu.
Saya tidak tahu apa yang terjadi. Yang saya lihat, orang
sudah menshalatkan beliau. Saya berdiri sendiri di depan je-
40
nazah Ibunda. Saya mengonsentrasikan takbir. Saya shalatkan
jenazah Ibunda. Saya berdoa. Saya nadzarkan tubuh saya jadi
anak yang shalih. Kalau tidak, doa saya tidak akan diterima,
begitu kata Nabi saya. Saya berjudi dengan Allah bahwa saya
harus shalih. Saya ingin, setiap ibadah saya karena Allah dan
pahalanya untuk Ibunda.
Saya merasa lelah karena berangkat dari pagi. Saya pun
tertidur di sebelah jenazah Ibunda, tetapi tidak lelap. Sebentar
kemudian, saya terjaga dan kembali menangis.
Terdengar lagi orang yang berkomentar, "Inilah risiko
anak bungsu yang manja". Saya tidak peduli dengan komentar
itu. Komentar itu salah. Artinya, anak yang dimanja sangat
hormat kepada ibunya, akan menghormati ibunya, bersumpah
akan membunuh kalau ada orang yang mempecundangi
ibunya. Seorang ibunda sangatlah agung di mata anaknya.
Seperkasa apa pun seorang anak, ia harus takut, tunduk, dan
hormat kepada ibunda kandungnya.
Hari itu, Ibunda dimakamkan, diiringi kumandang adzan
Maghrib. Seminggu lamanya, saya menjadi penghuni Pemakaman
Karet. Saya takut serta trauma ketika disuguhi adzan
Maghrib. Hal itu mengingatkan, seakan peristiwa kematian
Ibunda terulang.
41
Melepas kepergian Ibunda
42
JAHITAN IBUNDA YANG TERAKHIR
Baju itu masih saja tergantung
Di atas paku di sudut kamar itu
Tidak akan kupakai selamanya
Karena akan kujadikan jimat bagi diriku
Baju itu sebenarnya masih baru
Tetapi karena ada robek di ketiaknya
Ibunda berjanji akan menjahitnya
Nantilah nak akan Ibunda selesaikan jahitannya
Karena penyakit jantungnya yang menahun
Ibunda tersadai di pembaringan
Berkelindan dengan maut yang sulit ditolak
Meninggalkan bajuku yang belum selesai terjahit
Kini baju itu kubawa ke mana pergi
Menjadi jimat bagi diriku
Melarang melakukan apa yang dilarang agama Ibunda
Tergantung di setiap pojok kamar yang kupindahi
Baju itu tetap saja tergantung
Belum selesai terjahit
Jahitan Ibunda yang terakhir
43
3. BERANGKATKE IRIAN JAYA
Pesawat Garuda membawa saya untuk kali pertama ke Irian
Jaya. Sebelumnya, saya dan Ibunda berjanji tidak akan ke
Irian karena jauh dari Jakarta, apalagi dari Sumatera. Pikir saya
orang-orangnya keriting dengan kulit yang hitam legam.
Kini, dalam keadaan berkabung, saya berangkat ke Irian Jaya.
Kakak saya nomor delapan membawa saya ke tempatnya dan
suaminya yang berprofesi sebagai pegawai negeri. Kakak saya
adalah dokter gigi pada salah satu puskesmas. Sementara itu,
kakak ipar saya adalah Kepala Sub Direktorat Pendaftaran
Tanah Provinsi Irian Jaya di Jayapura.
Ketika pesawat raksasa itu melewati Pekuburan Karet,
saya menangis. Saya tutupi muka saya, malu kepada kakak.
Seharusnya mereka tahu, saya masih berkabung. Akan tetapi,
mungkin saya akan menjadi gelandangan kalau tetap di
Jakarta.
Sudah sebulan semenjak meninggal Ibunda, saya tidak
makan sate padang kesukaan Ibunda. Ini saya niatkan terusmenerus
sehingga berlangsung sampai lima tahun. Padahal, di
Jayapura ada juga orang yang menjual sate padang.
Selama perjalanan, dua anak kecil memerhatikan keadaan
saya. Yang satu bernama Aldi dan yang satu lagi bernama
Indra. Keduanya adalah anak kakak saya, keponakan saya.
Tampaknya, kedua anak ini prihatin, terutama mungkin juga
karena kami jarang bertemu.
44
Sampai di Biak, saya mengajak kedua anak laki-laki ini
berjalan-jalan di pantai. Mereka sontak berteriak, "Asyiiik...!"
Wah, ternyata nakal juga anak-anak ini. Saya mencoba bercerita
mengenai kisah kuno Mahabharata: bahwa keponakan
hams hormat kepada pamannya. Hal ini kelak berpengaruh
kepada kedua anak ini sampai masing masing dari mereka
berkeluarga. Cerita yang mereka senangi adalah pengorbanan
Gatotkaca kepada pamannya: Arjuna.
Hanya enam bulan kuliah di Akademi Ilmu Administrasi
dan Akuntansi, saya berkenalan dengan Ermaya Soma Winata
yang sekarang menjadi Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional.
Kemudian, saya dimasukkan kakak ke Akademi Pemerintahan
Dalam Negeri (APDN) Jayapura. Di sinilah saya
digojlok dengan pukulan. Saya tidak mau merasakannya. Saya
sudah lama mau mati menyusul Ibunda. Akan tetapi, mau
bunuh diri tidak mungkin.
Di APDN, saya melihat ada seorang anak Irian seumur
saya yang juga tabah dipukuli. Waktu istirahat, saya mengatakan
bahwa Ibunda baru saja meninggal tahun lalu.
Ternyata ia juga memiliki kesamaan. Kemudian, saya bercerita
juga bahwa Ayahanda sudah lama meninggal. Ia juga bercerita
hal yang sama. Yang saya tidak suka, ketika saya mengatakan
bahwa saya anak bungsu dari dua belas bersaudara, ia juga
mengatakan demikian, tetapi anak bungsu dari sembilan ber-
45
saudara. Saya tidak percaya. Akan tetapi, belakangan saya tahu
bahwa dia sesungguhnya jujur.
Kebanggaan saya tumbuh di sini. Saya memenangkan sayembara
mengarang. Akan tetapi, hadiahnya diambil oleh seorang
murid bernama Imam Riyadi yang berbakat untuk itu.
Sedangkan anak Irian lainnya bernama Mathias Mandowen,
justru sering membantu saya sampai rela berkelahi dan benjolbenjol.
Inilah untuk pertama kali saya memperoleh teman sejati
kelak sampai tua. Kendati kami berbeda suku, berbeda agama,
tetapi memiliki kesamaan dalam nasib. Lebih hebat lagi,
setelah bersahabat dengannya, seluruh kemiringan tentang
manusia Irian pupus sudah. Anak ini mengungguli saya dalam
berbagai hasil ujian, berkata jujur, terbuka, dan sopan. Hanya
saja, ia memang tukang berkelahi. Badannya memang cocok
untuk hal itu: tinggi, besar, keriting, hitam, dan hidup lagi.
Dalam persahabatan inilah saya diajaknya ke gereja dan
saya juga mengajak dia ke masjid. Saya tidak tahu apa yang
dibacanya ketika dia ikut shalat. Kepalang basah, kami, bersama
dengan Agung Anom Mahardika, menuju pura persembahyangan
umat Hindu di Jayapura. Kami bertiga juga
kemudian memperbesar geng kami menjadi berlima, setelah
ditambah dengan Marthinus Randongkir dan Pardamaian
Simatupang. Kelimanya adalah mahasiswa APDN Jayapura
yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan praja.
46
Di samping itu juga, saya menggabungkan diri dengan
para seniman kampus: Gatot Marsigit, Alowa Dodo Hulu,
Marthen Rohrohmana. Selamanya, mereka akan tercatat
dalam kehidupan saya di kemudian hari karena semuanya
menjadi sponsor pernikahan saya yang menggemparkan.
KENYATAAN 22
Dalam hidup yang jarang akan sampai seratus tahun
Kenapa tidak kau terjang saja segalanya ini
Telan kepahitan tanpa peduli
Dan setelah itu bersalu dengan bumi
Mati
Untuk berbuat seenak hati
Ada rasa tidak tega, Tuhanku
Akhirnya saya larijugapada Mu
Wahai Yang Maha Melihat
4. PRAJA APDN ITU LARI KE HONGKONG
Sebenarnya, saat itu kami tidak disebut praja, tetapi taruna.
Saya hanya suka sekolah pamong praja ini karena bapak saya
pernah menjadi bupati di Bengkalis. Rasanya, saya ingin juga
memimpin rakyat dengan jujur.
47
Dengan masuk APDN, kebebasan saya menonton film dan
main drama terbelenggu. Saya dihajar oleh pendidikan disiplin
dengan pukulan. Beberapa kali saya berekelahi dengan teman
sekelas, namun terhadap senior (kakak kelas) tidak berani.
Jiwa almamater terbentuk karena senasib sepenanggungan.
Kami berbincang tentang pacar dan pengalaman masa lalu.
Ada yang menyenangkan karena lucu dan ada pula yang berlebihan
sampai mengganggu orang lain.
Keilmuan pemerintahan saya peroleh di tempat ini. Kampus
ini berjuluk Yoka Pantai karena tempatnya persis berada
di pinggir Danau Sentani yang sisi utaranya bernama Yoka.
Ketika saya memperoleh uang tunjangan ikatan dinas yang
ditumpuk setahun, saya mempersiapkan perjalanan pelarian
ke Hongkong. Saya membaca reklame (iklan) penerimaan
pemain film bersama Yenni Hu. Saya pamit kepada temanteman,
tetapi tidak kepada kakak. Saya khawatir kakak akan
menghalangi saya.
Saya naik kapal dan tidur di palka. Belum tiga hari di
perjalanan, saya berkelahi dengan orang tidak dikenal. Garagaranya,
ia meminjam seenaknya tape recorder milik saya. Setelah
kami dipisah orang, saya menerima kembali tape recorder
kesayangan saya itu.
Saya juga takut melanjutkan perkelahian karena awak kapal
pasti memarahi saya. Mereka semua mengetahui bahwa
48
saya naik ke atas kapal tanpa membayar tiket. Sebagai konsekuensinya,
saya rela mencuci kapal.
Waktu transit di Ujungpandang dan terlambat naik kembali
ke kapal, saya diantarkan pandu laut mengejar kapal
yang sudah mengangkat jangkar. Kapten kapal menampar
saya. Dia duduk bersama pacarnya yang wajahnya tampak
cabul. Mulailah timbul kebencian saya kepada awak kapal
yang hidup seenaknya itu. Tampak pasti, mereka mempunyai
keluarga (anak dan istri) di kampung halamannya.
Saya turun di Surabaya. Dari berita di koran, saya melihat
sedang ada pemutaran film Isabela Sarli, bintang yang seksi
mandraguna.
Perjalanan selanjutnya saya tempuh dengan kereta api
menuju Jakarta. Di kereta api ini saya berkenalan dengan
sepasang turis laki-laki dan perempuan yang tidak mampu
berbahasa Indonesia. Saya mengaku dari Papua sehingga mereka
mengira saya sebagai turis dari Papua New Guinea.
Bersama turis itu, kami tidak ke rumah kakak saya yang di
Jakarta, tetapi langsung ke Jalan Sabang, tempat berkumpul
para turis asing. Saya dilarang menginap karena berwajah Indonesia.
Akan tetapi, kedua turis Barat tadi membelaku.
Malamnya, mereka mandi dan membersihkan diri. Saya
takut keduanya bersetubuh seperti kebanyakan kata orang
tentang mereka. Rupanya itu tidak terjadi karena mungkin
49
bukan kelompok Hippies yang hidup seenaknya. Barangkali
mereka mahasiswa karena sepanjang malam saya melihat
mereka menulis catatan harian sambil menghitung segala pengeluaran.
Kami tidur terpisah pada tempat tidur sederhana
yang bertingkat. Saya sendiri berada di tempat tidur tingkat
dua, sedangkan mereka di tempat tidur tingkat satu.
Saya kesulitan uang ketika mulai mengurus paspor dan
ongkos tiket kapal ke Hongkong. Untuk itu, saya musti mendapat
tambahan biaya. Satu-satunya sumber adalah kakak saya.
Akan tetapi, saya pasti akan dimarahinya. Saya akan dianggap
sebagai pelarian, terutama ketika telegram dari Irian
Jaya datang bahwa saya harus ujian semester. Kakak saya ternyata
sudah mengetahui semuanya. Mereka pun telah mempersiapkan
tiket pesawat agar saya kembali ke Irian Jaya dengan
pesawat.
Saya mendapat skorsing dari APDN. Walaupun ujian dapat
saya lewati, namun saya harus mengulang setengah tahun.
Setelah itu, saya harus menjalani operasi ambeien. Sebulan
saya dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Jayapura, ditemani
Mathias Mandowen, anak Irian yang baik itu. Kami bercerita
tentang almamater yang kompak, terutama Pardamaian Simatupang
yang curang, I Gusti Agung Anom Mahardika yang
rapi, Marthinus Randongkir yang genit. Kami pun berceloteh
tentang anak perempuan Irian, Adolvina Yarangga; anak Ma-
50 51
nado, Vonny Sumangkut; dan anak Jawa yang pandai menari
Bali, Endang Karmin.
Ketika mencapai tingkat tiga, saya mempersiapkan skripsi
dengan judul Penumbuhan dan Pengembangan Objek-Objek Pariwisata
dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
di Kabupaten Daerah Tingkat II Jayapura. Pembimbing saya
adalah Drs. Muhammad Stoffel. Saya senang sekali karena kerinduan
mengarang saya tertantang oleh kegiatan ini.
5. DI TENGAH BELANTARA PAPUA
Saya ingat Ibunda dan Ayahanda yang tidak ada lagi. Wisuda
saya praktis hanya dihadiri kakak.
Saya mulai akrab dengan kepribadian kakak saya yang
berbeda dengan kakak-kakak saya yang lain. Mereka terbiasa
teratur dengan makan siang, tidur malam, dan pengaturan
barang-barang rumah tangga. Ketika berangkat ke Jakarta,
pindah untuk seterusnya, mereka memberi saya beberapa barang
yang tidak dapat mereka bawa ke Jakarta, seperti bunga
palm yang potnya sebesar drum. Seluruhnya kemudian saya
boyong ke Kota Merauke, tempat saya bekerja menjadi PNS,
selepas kuliah di APDN.
Saya merasa asing di kota yang banyak rusa ini. Akan
tetapi, kesibukan untuk pertama kalinya menjadi pegawai
negeri membuat saya asyik. Bayangkan, saya mendapat ja52
dan Arif Arphan. Marcus kemudian masuk Islam, Yustina
memenangkan lomba nyanyi, dan Arif Arphan menjadi staf
saya pada bagian humas. Teater ini perlahan-lahan menjadi
besar sehingga anggota aktifnya mencapai enampuluh orang.
Ulang tahun pertama teater dibuat besar-besaran sehingga Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Merauke hadir memberikan
sambutan. Sebuah prestasi yang kami buat waktu itu karena
teater lain yang ikut menjamur tidak dihadiri oleh pejabat
politik ini. Mungkin juga karena kami selalu latihan di kantor
pemerintah daerah ini.
Kepemimpin di teater ini jauh lebih saya sukai daripada
jabatan struktural. Akan tetapi, antara tugas kehumasan saya
dan teater dapat saya jadikan satu karena keprotokolan
Pemda Merauke memerlukan sentuhan seni seperti ini. Meski
demikian, tidak sedikit pejabat yang levelnya lebih tinggi
membenci saya karena saya menggiring suasana teater ke dalam
kantor yang serbaresmi ini.
Anak-anak gadis di SMA dan SMEA yang hanya satusatunya
di kota ini tentu menjadi perhatian utama untuk ditarik.
Bagaimanapun, pertunjukan-pertunjukan memerlukan
daya tarik guna menghadirkan penonton sebagai sumber pundi-
pundi biaya teater yang besar. Beberapa anak SMA dan
SMEA yang perlu didekati saat itu antara lain Mamah yang
rajin mengaji, Bertha Tampang yang penyakitan, Endang Karmin
yang ketiaknya bau, Arlyn yang dipacari Yulius Papilaya,
53
batan sebagai Kepala Sub Bagian Agama, Pendidikan, dan
Kebudayaan, satu tingkat di bawah Kepala Bagian Kesejahteraan
Rakyat. Kerja saya mempersiapkan guru teladan
dan murid teladan. Waktu itu, yang menang menjadi murid
teladan adalah Rita Erna Kusumaningtyas. Sementara itu,
yang memperoleh ratu kecantikan Merauke adalah Happy
Wahyunani. la memang cantik, tetapi senang berpacaran dengan
anak Cina yang banyak uang.
Tidak sampai satu tahun memangku jabatan tersebut, saya
dinaikkan menjadi Kepala Bagian Humas dan Protokol
Setwilda Tingkat II Merauke. Saya betul-betul suka. Selain
diberikan kendaraan motor dinas, saya diperbolehkan tinggal
di rumah dinas yang terkenal dengan sebutan Wisma Praja.
Di sini, saya berhasil mendirikan teater Teater Pringgandani
Junior dan sekaligus memimpinnya. Disebut junior karena
Teater Pringgandani pernah berdiri sebelum kehadiran
saya di kota ini. Berbagai kejuaraan seni kami rebut, seperti
drama, tari, nyanyi, dan lukis. Saya pun sering dikirim ke
Manado, di samping karena saya memang kepala hubungan
masyarakat di daerah itu. Teater ini didirikan bersama Suwondo,
guru SMP Negeri II Merauke; Mukhtar Mario Kadir,
seorang pengasuh pramuka; dan Victor Rudy Kurnia Supardjo,
yang kata orang memiliki kakak sangat cantik.
Selain itu juga, banyak anggota yang kami bina, seperti
Marcus Bakreki, Yustina Pujianty Lestari, Nur Hasanah,
dan Waty yang berjualan bensin. Teater saingan kami waktu
itu bernama Teater Cendrawasih.
Waktu mendapat tawaran Bupati Merauke untuk menjelaskan
kepada masyarakat pedalaman Irian Jaya bahwa
gerhana matahari tahun 1982 tidak boleh ditatap, saya menyetujuinya.
Waktu itu, kota yang dilewati adalah Yogyakarta,
Ujungpandang, dan Merauke pedalaman. Pesawat khusus
dicarter untuk saya dari Obaa menuju Asmat setelah dari Merauke
kami berangkat bersama-sama.
Semula, saya merasa sunyi setelah berpisah dengan teman-
teman petugas. Perjalanan bisa menghabiskan waktu
satu bulan. Saya pikir, ini adalah pengalaman berharga bagi
saya, apalagi Asmat terkenal dengan seni pahat dan dramanya.
Saya pun berangkat.
Asmat memiliki lapangan udara yang terpisah dari kotanya
karena perkampungan Asmat sendiri tidak dapat didarati
pesawat. Bayangkan, seluruh kecamatan ini digenangi air laut
sehingga penduduknya hidup di atas perahu atau rumah
yang ditancap di atas laut. Mereka mandi dari air hujan yang
ditampung berdrum-drum jumlahnya.
Karena pilotnya tidak terikat pada agenda kerja yang padat,
dia mengajak saya melihat matahari yang akan sangat
menggemparkan itu. Kami berkeliling-keliling ke udara dan
baru kemudian mengantarkan saya ke Asmat.
54
Jangan membayangkan Bandar Udara Ewer seperti
Cengkareng atau Kemayoran. Lapangan Udara ini hanya
mempunyai kantor persis gubuk yang diisi orang kalau ada
pesawat datang. Antara Asmat yang beribukota Agats dan
Ewer dibatasi oleh dua buah sungai besar yang bertemu di
muara Laut Arafuru. Oleh karena itu, putaran arusnya besar
dan banyak menelan korban orang yang naik perahu pada
waktu gelombang hendak pasang.
Jadij karena melihat waktu maghrib sudah hampir tiba,
para penjemput saya yang datang dengan tiga perahu terpaksa
pulang agar tidak bertemu dengan gelombang pasang. Pilot
yang mengantarkan saya pun tanpa sengaja meninggalkan
saya sendiri di Ewer. Tidak ada penduduk yang tinggal di
Bandar Udara Ewer. Yang ada hanyalah bekas kuburan tentara
Jepang yang menjadi korban Perang Dunia Kedua. Inilah
untuk kali kedua saya seorang diri di hutan tanpa manusia
setelah beberapa bulan sebelumnya pernah berjalan kaki
antara Mindiptanah ke Waropko.
Malam itu, lampu senter saya nyalakan hanya sebentar-sebentar
karena khawatir tenaga batere mengecil. Tanpa nyala
sama sekali, saya tidak mungkin berjalan. Selain itu, saya
harus mengetahui apakah di sekitar saya ada ular atau tidak.
Binatang buas lainnya di Irian Jaya tidak ada.
Rasa sunyi seperti ini membuat saya menerawang membayangkan
makhluk halus yang tidak mungkin datang. Saya
55
pikir, apabila hantu yang banyak diperbincangkan orang itu
datang, tentu di antaranya adalah Ibunda dan Ayahanda.
Saya berceloteh pada belalang yang tiba-tiba saja muncul di
hadapan saya, "Kamu jangan pergi kawan! Tidak ada teman
lain yang mau diajak bicara selain kamu!" Belalang ini pun
menggerak-gerakkan belalainya. Mungkin itu tanda setuju.
Rasa lapar saya dan mungkin rasa lapar belalang ini tidak lagi
terasa karena kami sama-sama menunggu pagi, menunggu
matahari yang membawa gerhana yang menggemparkan itu.
Dalam keadaan sunyi seperti ini, saya pun teringat tunangan
saya yang tidak pernah saya sentuh. la begitu cantik,
tetapi tukang menyeleweng. Oleh karena itu, mending cincin
tunangan yang saya pakai saya kuburkan di tengah hutan Papua
agar berkelindan dengan hantu Irian Jaya.
6. PEREMPUAN ITU BERNAMA INDAH
Saya tidak peduli apakah seorang perempuan tertarik atau
tidak kepada saya. Yang penting, saya yang harus lebih dulu
tertarik. Saya tidak boleh gede rumangsa terhadap perempuan,
padahal modal saya hanyalah keamburadulan tampang, kemiskinan,
dan kehidupan sebagai petualang seperti ini. Umur
saya sudah tiga puluh tahun. Saya pun sibuk main drama yang
kebetulan sepadan dengan jabatan saya sebagai humas pemda
yang senantiasa berkeliaran dengan motor dinas pemerintah.
Saya adalah bujang lapuk.
56
Dengan kamera milik bagian humas, saya mencoba mencari
kenalan. Semua itu juga disertai keberanian mengikuti
bupati ke sana kemari. Seorang juru foto memang mendapat
keleluasaan. Di samping itu, orang-orang memang pada dasarnya
senang dipotret karena kecintaan mereka terhadap
wajah mereka sendiri dan selalu ingin mereka abadikan. Saya
bahkan pernah membawa kamera kosong tanpa film, terus
saja memotret orang lain. Saat itu bertepatan dengan persiapan
peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
yang ke-37. Untuk kali pertama, Kabupaten Daerah
Tingkat II Merauke mengadakan upacara kenegaraan memakai
Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka). Anakanak
SMA, SMEA, Polisi, Angkatan Darat (Kodim), Angkatan
Laut (Sional), dan Angkatan Udara bersama-sama berlatih
di Lapangan Mandala Merauke.
Pengerek bendera yang berada di tengah adalah seorang
wanita murid kelas III IPS SMU Yohannes XXIII Merauke.
Rata orang, namanya Indah. Rambutnya sebahu dibiarkan
lepas. Tingginya 170 centimeter. la pendiam dan jarang senyum.
Pinggangnya langsing dililit oleh pakaian rapi dan
bersih. Sulit untuk memulai pembicaraan, apakah ia mau dipotret
atau tidak. Akan tetapi, tidak mungkin ia menolak kalau
fotonya ada pada saya. Saya akan menghadiahkan peristiwa
abadi itu, terutama karena pada tanggal proklamasi ternyata ia
berulang tahun. Saya kira, itulah alasan yang paling tepat.
57
Hari upacara itu begitu meriah, diperingati di seluruh
Indonesia. Saya sudah berpakaian rapi. Tekad saya, ia harus
melihat saya dari sebelah kiri karena di pipi kanan saya
tumbuh jerawat abadi sebesar jagung yang belum sempat
dioperasi. Saya mencarinya sepanjang kumpulan anak-anak
yang menggerek bendara merah putih. Tidak ada!
Ketika sirine berbunyi kencang, bendera dengan pengawalan
ketat pasukan kehormatan tiba. Astaga, rupanya wanita
belia itu yang membawa bendera dari rumah bupati. Ia
berpakaian putih-putih, memakai peci hitam, dan di balik
bajunya terselip syal merah putih. Roknya selutut. Sempat
saya lihat betisnya yang indah dengan sepatu tinggi yang
serasi. Tidak satu pun yang berani melarang saya, humas pemda
yang sibuk ini, memotret. Bukankah juga mereka tidak
tahu maksud saya? Mulai dari laporan sampai dengan bendera
dikibarkan, kamera saya berkilauan memburunya. Adegan
lain mungkin tidak sebanyak jepretan untuknya.
Persangkaan saya benar. Sebulan kemudian, serombongan
anak SMA memburu saya meminta foto Indah. Tentu saja
tidak mudah saya berikan sebelum saya berkenalan dulu dengannya.
Foto ini adalah modal pertama saya. Modal kedua adalah
mengunjungi rumahnya untuk mengantar foto gratis ini
karena saya bukan juru foto komersial. Kebetulan, adik kandungnya
adalah anggota Teater Pringgandani Jr. yang saya
58
pimpin. Jadi, alasannya semakin tepat. Selain itu juga, adik
bungsunya yang nomor tujuh bersedia kalau saya mengajar
membuatkan pekerjaan rumah. Semakin tepat alasannya.
Saya membiasakan malam Minggu bertandang ke rumahnya.
Rutin dan mungkin menyebalkan bagi orang lain. Ini
berlangsung dua tahun sampai dia lulus SMA. la ternyata berniat
masuk APDN, seperti saya, di Jayapura.
Tentu sebuah kegagalan kalau ia sampai masuk APDN
atau perguruan tinggi mana saja karena hal itu berarti meninggalkan
saya di Merauke. Ya, saat itu, di Kota Merauke
tidak ada satu pun perguruan tinggi dan akademi.
Saya mencoba membuatkan surat lamaran agar ia dapat
bekerja di kantor-kantor pemerintah. Saya adalah bujang lapuk
yang bekerja di kantor pemerintah dan sudah terbiasa
dengan pengetikan dan surat lamaran. Jasa saya disambut
baik ibu dan bapaknya. Pertanyaannya, setelah itu, saya harus
menggunakan pintu jasa apalagi? Beranikah saya menyampaikan
apa yang saya inginkan?
Setiap datang, saya memakai sepatu tinggi agar pendek
tubuh saya tidak kentara. Nantilah, kalau sudah terpaksa,
mau diapakan lagi! Sepatu itu saya tutup dengan celana lebar
yang modelnya masih berlaku hingga sepuluh tahun yang
lalu. Seharusnya, anak perempuan normal sudah barang tentu
mengerti kalau ada anak lelaki yang berlebihan baiknya pasti
59
ada maunya. Dari hal itu, saya berharap tidak terlalu sulit
mengucapkannya.
Ketika film Di Balik Kelambu yang dimainkan Slamet
Rahardjo dan Christina Hakim diputar dan menggemparkan
Kota Merauke, saya membeli dua tiket bioskop. Sulit saya
menyampaikan kepada ibunya bahwa saya sudah membeli
tiket. Saya gentar mengucapkannya.
Entah bagaimana, acara menonton film itu diizinkan.
Sepanjang menonton, ia terlihat sangat menikmatinya. Sementara
itu, hati saya bergemuruh ingin menyampaikan
bahwa saya menyukainya. Saya bukan mau usil seperti para
Arjuna mencari cinta.
Saya sempat heran, mengapa setiap kali sikut kami bersentuhan,
ia menariknya? Kalau jijik dengan saya, tidak
mungkin ia berkenan menonton denganku.
Sejumlah permen pengharum mulut sudah saya makan
untuk menghindari bau mulut. Sayang, saya memang tidak
suka minyak wangi. Akan tetapi, setelah saya pelajari, saya
memang tidak mempunyai bau badan yang menyengat. Saya
sudah bertanya kepada siapa saja tentang penampilan saya.
Saya lupa, tanggal berapa kata-kata yang saya persiapkan
itu keluar begitu saja tanpa konsep yang rinci dalam bentuk
sindiran. Ia diam saja. Tidak jelas, apakah ia mendengar atau
60
tidak. la sendiri tidak pernah menatap saya dan memanggil
nama saya.
Setelah peristiwa yang berlangsung dalam hitungan tahun
itu, saya dikejutkan oleh sepucuk suratnya. "Jangan datang ke
rumah dulu. Ibu saya marah, kurang senang dengan Anda. Kalau
mau bertemu, mungkin di rumah teman saya, Arlyn...."
Surat itu tidak ditulis di atas kertas surat merah jambu.
Tidak ada kata cinta, tidak ada salam sayang, jujur, dan lugu.
Tidak apa-apa. Buat apa bumbu rayu! Buat apa rayuan gombal!
Begini saja sudah cukup, kok.... Yes!
61
1. PINANGAN YANG GAGAL
Saya sudah menyadari bahwa pinangan saya pasti ditolak
karena kami berbeda agama. Akan tetapi, jika tidak
diutarakan, sudah barang tentu niat tulus ini tidak diketahui
calon mertuaku. Saya pun mencoba mengumpulkan
teman-teman untuk datang meminang. Seperti diceritakan
sebelumnya, Ibunda dan Ayahanda sudah lama meninggal.
Sementara itu, tidak satu pun saudara saya di Kota Merauke
ini. Yang berangkat ke rumah calon mertua saya, antara lain:
Mas Gatot, Camat Tanah Merah; Mas Sarbini, staf Kantor
Bupati Merauke; dan Mas Alowa Dodo Hulu, Kepala Kantor
Kecamatan Muting. Ketiganya teman satu almamater di
APDN Jayapura. Keikutan Alowa Dodo Hulu adalah untuk
tidak memperlihatkan bahwa kami bernuansa Islam karena
Alowa beragama Kristen Protestan, sama dengan mertua
saya.
63
C. PERNIKAHAN
eBook by MR.
Selesai peminangan, kami membahas bahwa penolakan
bukan karena soal agama. Saya dinilai terlalu eksentrik untuk
menikahi putri tertuanya itu. Saya menjadi semakin nekat.
Karena alasan itu, saya kembali datang meminang. Kali ini,
saya ditemani para pejabat dengan level yang lebih tinggi, yaitu
Bapak Drs. Marsudi, Ketua Bappeda; Bapak Drs. Nazori,
Kepala Bagian Pemerintahan; dan Bapak Drs. Jacob Pattipi,
Bupati Merauke.
Selain mendapat penolakan, meskipun dengan cara halus,
pinangan yang kedua ini menuai badai. Saya dikira sombongsombongan
dengan melibatkan para pejabat. Padahal, tidak
sama sekali. Betul bahwa mereka pejabat. Akan tetapi, buat
saya, mereka tidak lebih dari para lulusan APDN dan IIP,
orang-orang yang satu almamater dengan saya.
Karena saya tidak memiliki biaya yang cukup untuk menjalani
pernikahan, maka biaya yang terkumpul merupakan
sumbangan para sahabat yang simpatik. Bupati Pattipi mengetahui
bahwa niat saya untuk mempunyai istri serius,
terutama sebagai pendamping saya sebagai Kepala Kantor
Kecamatan Edera di pedalaman Irian Jaya. Oleh karena itu,
ia lalu menghubungi Kapolres Merauke untuk mengamankan
jika terjadi kawin lari. Anak yang akan dibawa lari sudah
dewasa dan tanpa terikat pernikahan sebelumnya. Sementara
itu, saya pun tidak mau melakukan perzinaan. Niat saya
adalah menjadi suami istri yang mengikuti tata cara agama.
64
Belakangan saya tahu, hal ini disebut sebagai keluarga yang
sakinah.
Dengan sebuah janji, di rumah Nenek Cole, salah seorang
saudaranya, saya jemput wanita cantik itu. Kemudian, saya menempatkannya
di rumah teman saya, Ramadhan. Malam itu,
saya memimpin sebuah rapat agar segera dilakukan pernikahan
secara islami tanpa memaksa. Akan tetapi, salah satu peserta
rapat, yaitu Yulius Papilaya yang istrinya beragama Islam
dan kemudian masuk Kristen memendam rasa keprihatinan
dengan acara islami yang saya rencanakan. Yulius Papilaya
yang biasa dipanggil Ulis lalu berkhianat membocorkannya
kepada calon mertua saya. la pun mengatakan bahwa kami
minta perlindungan polisi.
Di rumah Kapten Alagan, Kepala Unit Reserse, saya dan
calon istri saya serta Mas R. Gatot Marsigit B.A. dicegat ibu
dan bapak calon mertua saya. Kami berunding cukup panas
dan akhirnya ketegangan terjadi. Beliau membuang minuman
yang disuguhkan Ny. Alagan dan melempar gelas kosong ke
muka saya. Saya berlumur darah. Calon istri saya menjerit-jerit
dan sejumlah polisi melarikan saya ke Rumah Sakit Umum
Pusat Merauke. Dengan dua belas jahitan, saya akhirnya dirawat
inap mulai hari itu. Malamnya, calon ibu mertua saya
datang menengok dan menjelaskan bahwa pernikahan tetap
ditolak.
65
Setelah agak sembuh, saya berkunjung ke rumah Pendeta
Drs. Yes Korputi M.Th. untuk minta petunjuk. Sebagai pendeta,
beliau tentu mengharapkan saya menikah secara kristiani.
Persoalan mulai muncul pada perbedaan prinsip. Saya
lalu datang ke rumah Kepala Pengadilan Negeri Merauke
untuk minta petunjuk, apakah saya melanggar hukum atau
tidak. Beliau membawa saya ke Rumah H. Daeng Matto Arsyad,
orang Makassar yang istrinya orang Bugis. Beliau berjanji
akan menghubungi Kantor Urusan Agama untuk dapat
menikahkan kami secara islami.
Untuk itu, saya harus menculik calon istri saya sekali
lagi. Berarti, ini untuk ketiga kalinya. Yang pertama saya istirahatkan
ke Kuprik, yang kedua ke rumah Nenek Cole, dan
yang ketiga ke rumah Matto Arsyad. Kali ini, kami berencana
untuk langsung menikah. Segala sesuatu saya persiapkan: mas
kawin seperangkat alat sholat, Al Qur'an, dan pakaian seadanya
karena ia lari tidak membawa apa-apa selain pakaian
di badan. Yang menjadi masalah adalah mengertikah calon
istri saya tentang arti shalat, tentang terjemahan Al Qur'an,
dan bersediakah ia masuk Islam? inilah yang perlu dijelaskan
dialog demi dialog.
Malam itu, pihak keluarga mereka berkumpul di gereja.
Mereka memohon pertolongan Tuhan dengan tata cara agama
Kristen. Jubah kebesaran pendeta yang berwarna hitam dan
biasanya hanya dikenakan pada hari kebesaran seperti Natal,
66
Indah sebelum ke gereja
tahun baru, dan hari Sabat yang jatuh pada hari Minggu,
malam itu dikenakan pendetanya. Begitu pentingnya acara
hari itu bagi mereka.
Saya sendiri shalat Istikharah untuk memohon petunjuk
atas pilihan yang sulit ini, nikah atau batal. Biarlah Allah yang
menentukan hari depan saya. Saya yang akan melaksanakan,
yang akan memutuskan. Saya memusatkan konsentrasi kepada
Allah dan saya berzikir. Hanya beberapa lama kemudian, saya
pilu dan bahkan pusing. Obat bius dan luka serta jahitan yang
ada di kepala saya mengganggu pikiran saya. Saya berzikir ter-
67
lalu keras sehingga Pak Saleh, pemilik rumah, mengatakan
bahwa saya kesurupan. Sebenarnya, tidak demikian. Saya
mungkin terlalu serius. Menurut saya, hasilnya bagus.
Pada saat yang sama, di gereja, calon istri saya membulatkan
tekad untuk masuk Islam. Apalagi, konsentrasinya mendengarkan
nasihat pendeta terganggu oleh banyaknya nyamuk.
Padahal, mereka begitu serius dengan acara khusus yang
dirancang malam hari itu.
Inilah pertarungan doa dengan doa. Bagi saya, bukankah
doa ditambah dengan perjuangan ditambah deng, . ianuir
adalah sama dengan nasib? Nasib inilah yang tidak lagi bisa
diubah.
Kalau saja calon istri saya yang malam itu diputuskan
untuk dikirim ke Semarang melanjutkan kuliahnya, sudah
barang tentu pernikahan kami tidak jadi. Walaupun ia menjanjikan
akan bertemu di Semarang, saya pikir ini riskan.
Saya mulai butuh agama pada saat seperti ini, setelah sejak
meninggalnya Ibunda saya sempat menjadi atheis. Saat
itu, saya meragukan keberadaan Allah karena saya berupaya
menemukan Allah lewat logika ketika berpikir, lewat seni
ketika merasa, dan lewat budi ketika saya harus membatin.
Saya sempat ragu di persimpangan jalan, ke mana saya akan
melangkah! Ketika seperti inilah saya mulai berkenalan dengan
buku-buku orang yang mencari Tuhan. Saya melahap
68
seluruhnya. Saya tidak butuh dogma. Saya butuh kebenaran,
kebaikan, dan keindahan. Itu adalah Allah sendiri.
Waktu itu, hujan lebat turun dengan deras. Saya bam
saja sadar setelah main drama semalaman, ditonton oleh masyarakat
Papua di pinggir Kali Digul. Bayangkan, yang main
adalah camat, penguasa kecamatan yang sepertinya tanpa
wibawa tapi dicintai masyarakatnya. Masyarakat tumpah ruah
di balairung kecamatan. Kritik banyak aparat tidak saya
pedulikan. Bagi saya, inilah hiburan saya untuk masyarakat.
Dalam kesendirian, saya teringat perempuan yang saya
jadikan target untuk menjadi jodoh saya akan diberangkatkan
ibu dan bapaknya ke Semarang, kota kelahirannya. Tiba-tiba
saja, nama Kota Semarang menjadi menakutkan bagi saya.
Lagu Shirley Bassey yang berdendang "J can't life if living
without you" pukul 00.00 itu menggugah saya. Benturan air di
akar-akar pohon di pinggir Kali Digul seolah mengejek saya,
"Kamu anak kedua belas yang selama ini dimanja keluarga
dan sendirian di pedalaman Irian Jaya." Sebuah tekad tibatiba
muncul. Dalam diam saya bergumam, "Ya Allah, bantulah
saya. Saya merasa sunyi!" Keatheisan saya luntur. Ternyata,
saya butuh pertolongan.
Menjelang pagi, barang-barang sudah saya kemasi. Saya
harus berangkat ke Merauke. Saya sendiri yang mengatur
penerbangan pesawat Merpati. Tidak ada atasan tempat saya
pamit. Camat lama, Bade namanya, baru saja diberhentikan
69
karena kasus kayu. Saya menjadi penguasa baru di Kali Digul
ini.
Kalau perlu, ia akan saya susul ke Kota Semarang. Apalah
artinya jarak. Jika untuk satu langkah perlu uang, untuk seribu
langkah yang diperlukan adalah hati keras.
Pagi datang menjelang. Saya menarik napas panjang. Terasa
begitu segar. Tidak ada rasa kantuk. Tidak pula suara
ayam berkokok. Yang terdengar hanya suara kaki Kasuari
peliharaan China Mintex, lari di sebelah rumah saya. Saya
panggil Andreas, staf yang paling setia. Saya berkata, "Bilang
di kantor, Bapak mau ke Merauke!" Waktu dia balik bertanya
untuk urusan dinaskah, saya menjawab, "Tidak, Bapak
mau nikah!"
Yang saya ngeri saat itu adalah kalau sang jodoh sudah
ke Semarang, kendati kemudian kota ini mencatat hal yang
lain. Allah membuat skenario yang tidak saya mengerti. Kami
berlima menjadi tamu Simpang Lima Semarang, di tengah
lapang kota, dua puluh tahun kemudian.
2. BERGANTI AKIDAH
Ketika Indah, istri saya, bertanya mengapa orang Islam
meliburkan dirinya pada hari Minggu mengikuti orang Kristen;
mengapa tidak berlibur pada hari Jumat yang dibesarkan
golongan Islam; saya tidak bisa menjawabnya. Hal itu malah
70
membuat saya balik bertanya, mengapa umat Kristen berlibur
pada hari Minggu, tidak hari Senin, Selasa, ataupun Rabu?
Dia serta merta menjawab bahwa dalam Alkitab, Allah menciptakan
alam raya ini selama enam hari. Pada hari terakhir,
Allah beristirahat.
Saya tidak menanggapi bahwa hari pada ukuran manusia
bumi berbeda dengan hari pada ukuran di luar bumi yang
tidak mendapat sinar matahari dan tidak mengalami rotasi
bumi pada sumbunya. Yang saya sambar adalah kata Allah
beristirahat. Bagi umat Islam, tidak ada kata Allah beristirahat.
Sebaliknya, Allah Mahakuasa, Allah Maha Mencipta, Allah
Maha Melihat. Jadi, Allah tidak pernah berhenti mencipta,
tidak pernah berhenti melihat. Keseluruhan-Nya diuraikan
dalam nama dan sifat-Nya.
Indah kembali bertanya dari mana saya memperoleh hal
itu. Saya jawab dari Al Qur'an dan Al Hadits, nama kuliahnya
Ilmu Tauhid, ilmu yang mempelajari nama dan sifat Allah
yang dalam Al Qur'an disebut dengan Asmaul Husna, namanama
yang bagus dari Allah. Indah tertarik. Oleh karena itu,
mulailah saya menjelaskan bahwa Allah tidak pernah beristirahat
(Surat Al Baqarah, tepatnya pada Ayat Kursi), bahwa
Allah tidak pernah mengantuk.
Inilah dialog awal yang saya lakukan. Setelah itu, Indah
diperbolehkan bertanya mengenai informasi apa saja yang
selama ini ia dapatkan mengenai Islam, seperti Islam tukang
71
kawin, Islam tukang perang, Islam membuang uang saat naik
haji, Islam jorok dalam berpenampilan, termasuk mengapa
yang dikorbankan dalam Al Qur'an adalah Nabi Ismail a.s.,
bukan Nabi Ishaq a.s. sebagaimana penjelasan Alkitab Perjanjian
Lama. Untuk menjawab masalah-masalah ini, saya
memperdalamnya lewat buku para mualaf Islam, seperti Prof.
Dr. Maurice Bucaille, Prof. Dr. Roger Garaurdy, dan Prof. Dr.
Fritsjof Szchoun.
Pada awalnya, saya menjawab tanpa menggunakan sudut
pandang mazhab, walaupun di belakang nama saya ada kata
Syafiie. Penjelasan tentang Sunni dan Syiah saya sampaikan
sekenanya, mumpung wanita ini sedang bertanya. Dengan
begitu, saya memperoleh kesempatan untuk menjelaskan bahwa
sebelum ditinggal Khadijah, istrinya, Muhammad tidak
menikah dengan wanita mana pun. Pernikahan selanjutnya
berbau politis agar para janda tidak dinikahi orang lain yang
bukan Muslim. Tidak ada nuansa seks pada pernikahan beliau
selanjutnya. Peperangan dilakukan karena begitulah bentuk
kasih kepada pemerkosa, penjajah, perampok, penjudi.
Inilah yang kemudian disebut dengan nahyi munkar. Kasih
yang ditujukan bagi yang baik dan benar disebut dengan amar
makruf.
Naik Haji ke Mekah adalah peristiwa sejarah sebagaimana
layaknya pendalaman materi pada kuliah kerja nyata. Islam
terkesan jorok adalah karena umat Islam tidak memedomani
72
hadits Nabi yang mengatakan bahwa kebersihan adalah sebagian
dari iman. Yang dipotong ketika Qurban adalah Nabi
Ismail a.s. karena ia anak pertama sehingga nilai ujiannya sangat
tinggi; suasananya lebih melankolis karena tidak punya
anak yang lain lagi yang akan dipotong. Kalau yang dipotong
Nabi Ishaq a.s., sudah barang tentu suasananya tidak menarik
dan nilai ujiannya biasa saja karena masih ada anak yang lain.
Dialog inilah yang kemudian melahirkan buku saya jilid demi
jilid.
Ketika kepala saya masih dipenuhi kain perban karena
luka, saya didatangi Indah. Ia naik motor dengan kedua adik
perempuannya, Anneta Anugrah Henny dan Ervin Saptarini
Prikasih. Indah memakai baju tentara yang menyatu antara
baju dan celana panjang. Saya bertanya dengan hati-hati mengenai
agama yang akan menjadi anutan bersama. Ia Kristen
Protestan dan saya Islam. Ia menjawab, "Apa saja. Saya jadi
bingung. Silakan memengaruhi saya dan saya juga akan memengaruhi
kamu. Kita mencari agama yang benar secara
logika, baik secara moral, dan elok secara seni."
Adakah kitab suci yang menghimpun segala disiplin ilmu,
tanpa dogma yang memaksa umatnya untuk menganutnya,
selain Islam? Saya tidak minta berdebat. Saya memperkenalkan
Islam secara terbuka. Dia pun menatap saya dan
mengangguk.
73
Bersama Indah menjelang pernikahan
3. IJAB QABUL
Saya dan Indah duduk menghadap kiblat. Di depan saya
duduk seorang wali hakim, mewakili orang tuanya Indah.
Wali hakim sendiri datang ke rumah Indah untuk menyatakan
bahwa tanggal 31 Mei 2004, anaknya akan dinikahkan di
tampat yang dirahasiakan. Dengan alasan orang tuanya tidak
ada yang beragama Islam, maka Indah dapat memakai wali
hakim.
Hanya ada sebelas orang di ruangan pernikahan saya
itu, yaitu H. Matto Arsyad; Moh. Saleh S.H.; Yusuf Buluqia
74
(wali hakim); seorang petugas staf KUA; Ibu Matto; Bapak
Haruna; Bapak Mustari; Arief Arfan, temanku; saya sendiri;
Indah, calon istri saya, dan Zulkarnaen. Tidak ada satu foto
pun. Sederhana sekali memang. Bahkan, di luar, kami dikawal
polisi.
Wali hakim membacakan khotbahnya, termasuk tentang
keberadaanku sebagai pegawai negeri. Sulit melupakannya
sampai saat ini karena acara ini tidak seremonial di gedung
yang megah penuh dengan protokoler. Kemiskinan itu saya
rasakan sakral. Saya memakai baju putih lengan pendek dan
celana panjang biru. Indah memakai baju cokelat dan rok
kotak-kotak. Untuk menutup aurat, selendang dikerudungkan
di kepalanya serta pada pinggangnya dililitkan kain sarung
Bugis. la duduk tertunduk. Semua orang terharu tanpa tangis.
Setelah Indah mengucapkan syahadat di depan para saksi,
s.aya berpegang tangan dengan wali hakim. Setelah berucap
dua kalimat syahadat, saya mengulangi ijab kabul kendati
rasanya yang pertama sudah afdhal. Hakim Pengadilan Negeri,
Moh Saleh S.H., yang menyuruh saya mengulang ijab
kabul itu sesuai fungsi dia sebagai saksi.
Detik itulah, manusia bernama Theresia Indah Prasetiati
binti Samuel Soepardjo, resmi menjadi istri saya dunia akhirat.
Saya pun membaca taqlik talak dengan dramatisasi lantang
agar hadirin mendengarnya serta Allah menjadi saksi.
75
Yang lucu, malam itu Indah datang bulan. Seminggu saya
diperintah Allah berzikir dan berpikir tentang kehidupan baru
ini. Bahkan, malam itu adalah hari pertama Ramadhan. Indah
menyerahkan Injilnya kepada saya dan saya menyerahkan
Al Qur'an kepadanya. Bagaimanapun, sebagai seorang Islam
yang toleran dan harus banyak mengetahui, saya harus menghormati
kitab suci yang pernah membuatnya lulus katekisasi
(pengkajian) dan sidi (khatam) dalam Kristen.
Berita pernikahan saya diliput RRI Merauke. Bukan
karena dihadiri banyak orang, melainkan karena mempelai
wanitanya hasil melarikan calon suaminya, saya sendiri. Polisi
berseliweran mencari. Padahal, mereka mengetahui saya
berada di mana. Terkadang, berdiam diri itu perlu untuk
menjaga silaturahmi. Hari itu juga, saya membagikan berita
ke sebelas kakak saya yang tidak mungkin hadir. Jawabannya
juga pada berdatangan mengucapkan selamat menempuh hidup
baru.
Bulan puasa itu juga saya kembali harus bertugas ke pedalaman
Irian Jaya, tepatnya di Bade, dilewati Kali Digul yang
terkenal secara nasional karena peristiwa pembuangan pada
zaman penjajahan Belanda. Saya membawa istri saya dengan
kapal layar Panca Bhakti, yang ukurannya panjangnya hanya
limabelas meter dan lebarnya tiga meter lebar, mengarungi
lautan yang berseberangan dengan Australia. Saya melihat
para pelaut Bugis Makassar dengan sigap menurunkan layar
76
kapal tradisional ini. Saya berusaha untuk gagah dilihat oleh
istri saya. Sayang, rasa mual karena besarnya gelombang
laut membuat saya harus terjungkal muntah, sementara istri
saya berpegangan pada terali kapal. Saya takut ia menyesal
mengikuti perjalanan petualangan ini, yang sudah barang
tentu bukan hanya hari ini, tetapi sampai maut memisahkan
kami.
Kami sengaja tidak melewati jalanan umum seperti menggunakan
pesawat dan kapal laut untuk penumpang umum.
Kami khawatir terjadi bentrok dengan keluarga istri saya. Kapal
yang kami gunakan harus melewati hutan pada malam hari.
Kapal Panca Bhakti ini dicarter oleh Bapak H. Matto Arsyad
untuk mengantarkan kami. Sayang, karena bulan itu sedang
tinggi, badai dan cuaca pun buruk, kami terpaksa berhadapan
dengan suasana laut yang sedang tidak ramah itu. Itu adalah
salah satu momen yang tidak mungkin saya lupakan.
Setelah seminggu mengarungi perjalanan laut, kami masuk
ke muara Kali Digul yang penuh nilai historis. Di sepanjang
sungai saya sadar, di kali inilah Bung Hatta, Proklamator RI,
pernah dibuang. Akan tetapi, kami tidak berada di kota besar
seperti Tanah Merah, melainkan di Bade, Kecamatan Edera.
4. BULAN MADU DI KALI DIGUL
Kepulangan saya kembali ke Bade tersebar luas ke seluruh
wilayah kecamatan kecil ini. Sebelumnya, saya memang sudah
77
ditempatkan berbulan-bulan dan bersunyi-sunyi di pedalaman
tanah Papua ini. Masyarakat menyambut kedatangan saya
di pelabuhan. Sebagai Kepala Kantor Kecamatan, saat itu
saya mengumumkan akan melangsungkan bulan madu bersama
istri saya, wanita tinggi langsing penuh pesona. Akan
tetapi, bisa saja kami kembali seorang diri karena kegagalan
petualangan.
Beberapa bulan kemudian, Camat Edera dipindahkan. Saya
lalu menggantikannya kendatipun tidak definitif. Meski
demikian, kekuasaan tetap berada di tangan saya. Berbagai
sambutan pada beberapa acara seperti hari sosial, pramuka,
dharma wanita, pasar malam amal, perayaan tujuh belasan,
saya ganti nuansanya menjadi agamis. Suasana mabuk-mabukkan,
menonton film yang tidak baik, dan pesta dansa
semalam suntuk saya ganti dengan drama yang saya dirikan
sendiri grupnya. Mereka menyambutnya sebagai suatu yang
baru.
Jika pagi-pagi berbelanja ke pasar, berdua bergandengan,
kami menjadi sorotan tajam. Waktu itu, istri saya belum memakai
jilbab. Istri saya memerlukan waktu yang panjang
untuk menyadari pentingnya memakai penutup aurat itu. la
masih memakai celana panjang dengan sepatu tumit tingginya.
Padahal, tanpa sepatu pun, ia masih lebih tinggi tubuhnya
daripada saya. Akan tetapi, semua itu tidak membuat saya harus
merasa rendah diri.
78
Untuk keindahan, saya selalu membiarkan rambutnya
jatuh sampai ke bahu. Tubuhnya yang harum membuat saya
pulang kantor setiap empat jam sekali. Lagu-lagu Pance Pondaag
dan Rinto Harahap mengisi kesunyian kamar kami yang
kami buat remang-remang.
Kalau ada persoalan pada malam hari karena ada yang
mabuk, misalnya, masyarakat dengan sukarela mendapatkan
penyelesaian dengan cara merenungi arti kehidupan. Saya kemudian
menjadi lebih mirip tokoh agama daripada aparat
pemerintah kecamatan. Pastor dan pendeta menjadi teman
saya berdialog. Kami tidak membicarakan peribadatan, tetapi
mengukir agama dengan kajian filosofis.
Komandan Rayon Militer dan Kepala Kepolisian Resort
pun sering bertandang mendengar saya bercerita tentang pengalaman
bertualang ketika muda. Akan tetapi, apabila malam
hari menjelang pukul 09.00. Semua tamu meninggalkal
kami berdua seakan mengerti bahwa kami masih berbulan
madu.
Berbagai kitab cinta kami buka. Termasuk dalam hal itu,
kami memberikan nuansa agama. Sebagai contoh, kami sangat
memerhatikan aturan untuk tidak melakukan anal seks
dan oral seks karena itu terkutuk. Kami senantiasa memohon
agar Allah menghadirkan malaikat-Nya untuk menjaga kami.
Kami tidak berkenan melakukan yang dilarang oleh Allah
dan Rasul-Nya. Sesungguhnya, Allahlah yang mendatangkan
79
kenikmatan kepada manusia, bukan berbagai obat perangsang.
Kami berdua terkadang memang memainkan kartu remi
joker, bertanding mengadu kecerdasan. Ketika saya kalah karena
strategi istri yang canggih, saya ingin juga marah. Akan
tetapi, wajahnya yang menantang disertai matanya yang sayu,
bibirnya yang ditimpali lipstik tipis, lebih mengundang
saya menjamahnya daripada memarahinya.
Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini, melukiskan lawan jenis
seperti ini. Akan tetapi, bukankah Rasulullah saw. bertakbir
melihat wanita cantik dan selalu menceritakan Khadijah
kepada orang lain. Saya malu, ya Allah, ketika saya melanjutkan
acara malam ini. Akan tetapi, tidak akan saya lupakan
kehadiran-Mu walaupun saya hanya berzikir dalam
hati. Tidak ada yang tahu selain Engkau, termasuk ia yang
membuat saya jatuh ke dalam pelukannya. Saya sebut nama-
Mu di dalam diam, ya Allah.
Bulan madu ini rupanya berlanjut sampai tulisan ini dibuat,
dua puluh tahun setelah pernikahan. Kendati saya menikah
pada usia tiga puluh dua tahun, bolehkah saya meminta
kepada-Mu, ya Allah, jangan berikan saya bidadari yang mendampingi
saya di surga. Cukuplah perempuan yang Kau berikan
ini menjadi bidadari saya, sebagaimana permohonan
saya di bawah Kakbah. Cantikkan istri saya di mata saya dan
wibawakan saya dalam batin istri saya, walaupun kemiskinan
mendera kami.
80 81

Tidak ada komentar: