Jumat, 16 Mei 2008

PERS DAN PEMERINTAHAN

1.Pengertian Komunikasi Politik

Komunikasi politik terdiri dari dua kata yaitu komunikasi dan politik. Yang masing-masingnya punya definisi tersendiri.

Komunikasi berasal dari kata latin communicatio yang bersumber dari kata communis yan berarti sama makna. Menurut Carl I. Hovland komunikasi berarti upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap.

Politik menurut filsafat Aristoteles adalah sebagai imaster of science , yang diungkapkan H.Victor Wiseman di dalam bukunya Politics: Master of Science. Setidaknya ada lima pandangan mengenai politik yang diungkapkan oleh Ramlan Surbakti di dalam bukunya Memahami ilmu Politik, yaitu:

a.politik adalah usaha-usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama.

b.politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelengaraan negara dan pemerintahan.

c.politik sebagai segala keiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.

d.politik ialah kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum.

e.politik dijelaskan sebagai hal yang berkaitan dengan pandangan klasik mengenai politk, kelembagaan, kekuasaan , serta fungsionalisme yang merupakan gabungan dari empat hal di atas.

Sedangkan komunikasi politik merupakan subdisiplin ilmu berawal dari revolusi ilmu penetahan sekitar lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Pengakuan formal dari kebradaan ilmu komunikasi politik ini ditandai dengan adanya divisi komunikasi politik tersendiri di dalam asosiasi komunikasi internasional pada tahun 1973. Kemudian disusul dengan adanya mata kuliah komunikasi politik dalam pendidikan ilmu komunikasi maupun ilmu politik.

Awalnya kajian mengenai komunikasi politik ini dilakukan di Amerika dan Eropa. Berakar dari kajian umum mengenai pendapat umum, propaganda, persuasi serta berkembangnya teori media kritis. Sejalan perkembangannya di tahun 50-60 an studi mengenai komunikasi politik banyak membahas mengenai kaitannya dengan pembangunan.

Definisi komunikasi politik di dalam bukunya Komunikasi Politik, Anwar Arifin menyebutkan ada beberapa pendapat ahli tentang komunikasi politik. Menurut salah satu pakar ilmu komunikasi Indonesia, A. Muis istilah komunikasi politik menunjuk pada pesan sebagai objek formalnya sehingga titik brat konsepnya terletak pada komunikasi bukan politik. Hakikatnya komunikasi politik mengandung informasi atau pesan tentang politik.

Menurt Astrid (1985), komunikasi politik adalah sebaai suatu komunikasi yang diarahkan pada pencapaian pada suatu pengaruh sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas oleh jenis komunikasi inidapat mengikat semua warganyamelalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik. Melalui kegiatan komunikasi politik ini terjadi pengaitan masyarakat sosial dengan lingkup negara sehingga komunikasi politik merupakan sarana untuk pendidikan politik/ kesadaran warga dalam hubungan kenegaraan.

Menurut Almond dan Powell (1966), komunikasi politik adalah suatu fungsi politik, bersama-sama dengan fungsi artikulasi , aregasi, sosialisasi, dan rekruitmen yang terdapat di dalam suatu sistem politik.

2.Manfaat Komunikasi Politik

Manfaat Keberadaan Komunikasi Politik mengenai apa arti dan manfaatnya komunikasi politik dalam tatanan kehidupan politik sehari-hari maka seharusnya masyarakat sudah menangkap dengan jelas keberadaan model-model komunikasi yang ditimbulkan dalam perpolitikan, peran komunikasi memegang peran penting dalam mengupayakan kepekaaan setiap kejadian politik yang berlangsung dewasa ini.

Setelah kita memahami apakah komunikasi dan definisi politik maka kita secara tidak langsung akan memahami pola hubungan komunikasi yang terjadi didalamnya. Secara umum juga dijelaskan bagaimana komunikasi politik muncul sebagai suatu bidang studi yang mencoba untuk berdiri sendiri. Dalam memahami mata kuliah ini diperkenalkan juga berbagai pendekatan teoritik maupun metodologis yang mampu menjelaskan komunikasi politik sebagai suatu suatu disiplin ilmu. Secara operasional komunikasi politik ini juga memberikan contoh-contoh konkrit dalam interaksi komunikasi maupun politik, baik dalam lingkup nasional, regional maupun internasional. Oleh karena itu pembahasan juga akan menyentuh disiplin lain secara terbatas, seperti komunikasi internasional, hubungan internasional, maupun dalam lingkup international political communication. Sementara bidang-bidang lain yang relatif dianggap baru seperti ekonomi politik media, teknologi media dibahas secara terbatas.

3.Khalayak Komunikasi Politik

Khalayak Komunikasi politik merupakan sasaran dari komunikasi politik tersebut. Contohnya saat pemilu ramai-ramai partai politik brrkampanye. Baik melalui media cetak maupun elektronik. Mereka ingin merebut perhatian masyarakat sebagai khalayak komunikasi politik saat itu.

Iklan politik yang menarik tidak berarti selalu efektif memengaruhi perilaku pemilih. PDI-P dengan iklan "moncong putih"-nya, yang begitu populer dan mendominasi iklan politik di berbagai media selama kampanye, perolehan suaranya malah merosot jauh dari Pemilu 1999. Prabowo yang iklannya bagus, juga Akbar Tanjung yang sering nongol dengan iklan Golkar, keduanya toh gagal dalam konvensi calon presiden Partai Golkar, dikalahkan Wiranto. Naiknya popularitas Susilo Bambang Yudhoyono pada dasarnya juga dibangun oleh publikasi. Selama ini Yudhoyono sering tampil di media massa sebagai tokoh yang menangani persoalan terorisme, separatisme Aceh, maupun konflik SARA. Ia tampil dengan postur tubuhnya yang gagah, bahasa lisannya yang santun, mimik wajah yang serius, dan ucapan yang terukur dengan bicara seperlunya. Publisitas itu berhasil memunculkan image tentang kinerjanya, kewibawaan, dan ketegasannya.

Keengganan Megawati bicara di depan media dan publik, serta ketiadaan juru bicara kepresidenan, secara tak langsung menguntungkan Yudhoyono sebagai Menko Polkam karena memberinya banyak kesempatan untuk tampil atas nama negara dan memperoleh publisitas yang positif. Ditambah saat menjelang kampanye lalu, tatkala dia disingkirkan dari kabinet, memungkinkan memperoleh publikasi gratis dan memunculkan simpati publik.

Fenomena ini seakan membenarkan sinyalemen Al Ries dan Laura Ries dalam buku The Fall of Advertising & The Rise of PR (2003). Menurut dua ahli marketing communication tersebut, dewasa ini iklan lebih banyak berfungsi sebagai nilai seni dan hiburan dibandingkan dengan sebagai sarana persuasi. Ukuran baik buruknya sebuah iklan lebih diukur dari aspek kreativitas atau kemampuan menghiburnya. Bukan efektivitasnya memengaruhi sikap khalayak. Dalam banyak hal efektivitas iklan sering "dikalahkan" oleh public relations dengan strategi publisitasnya.

Menurut Al Ries, publikasi memang jauh lebih potensial meningkatkan popularitas seseorang dibandingkan dengan iklan. Publisitas lebih dipercaya dan lebih diperhatikan masyarakat. Apalagi dilakukan dalam waktu yang relatif lama, akan membentuk image tersendiri, bahkan mampu menyentuh afeksi atau perasaan khalayak.

4.Budaya konteks tinggi

Khalayak komunikasi politik memang unik. Mereka memiliki selektivitas terhadap isi pesan. Selektivitas itu salah satunya dipengaruhi oleh budaya komunikasi. Menurut Antropolog Edward T Hall (1979), bangsa Indonesia masuk dalam rumpun high context culture dalam berkomunikasi. Dalam budaya ini, konteks atau pesan nonverbal diberi makna yang sangat tinggi. Masyarakat budaya konteks tinggi kurang menghargai ucapan atau bahasa verbal. Bahkan, acapkali mengharapkan orang lain mengerti apa yang diinginkan tanpa harus mengucapkan inti permasalahan yang dimaksud. Mereka lebih banyak berbicara berputar menghindari substansi keinginannya. Sebaliknya, kalau ada orang yang sering mengucapkan keinginannya secara jujur, justru dicurigai. Dianggap kasar, nggege mongso, atau ambisius.

Dalam high context culture, tokoh yang jauh-jauh hari mengungkap kemauannya menjadi presiden akan dianggap "aneh". Upaya meyakinkan publik dengan mengungkapkan program, atau visi, dan misi pun malah bisa kontraproduktif. Simak saja peribahasa yang hidup di masyarakat kita, seperti "sedikit bicara banyak bekerja", "tong kosong berbunyi nyaring", "air beriak tanda tak dalam", juga "sabdo pandito ratu". Kesemuanya merupakan refleksi budaya konteks tinggi yang tidak suka pada pembicaraan. Makanya, jangan heran nanti kalau digelar debat calon presiden di media massa, kandidat yang piawai berdebat malah belum tentu memperoleh simpati publik.

5.Barat doyan debat

Berbeda dengan masyarakat Barat yang memiliki budaya low context culture. Walau pesan nonverbal juga penting, bahasa verbal amat dihargai untuk mengungkap ekspresi dan keinginan mereka. Kemampuan speech communication, seperti diskusi, berdebat, berpidato, atau bicara di depan publik, merupakan aspek yang amat penting. Makanya, masyarakat Barat lebih kaya dalam hal mewadahi ekspresi bahasa verbal.

Tahun 1976, Ford dan Jimmy Carter bersaing menjadi presiden Amerika Serikat. Semalam, sebelum the great debate, jajak pendapat menunjukkan Ford lebih unggul 11 persen dari Carter. Di perdebatan, Carter tampil lebih memikat. Berbicara lebih piawai, mengusai materi, dan menawarkan program-program yang lebih rasional. Walhasil, setelah perdebatan, jajak pendapat menunjukkan Ford tertinggal 45 persen di belakang Carter. Berarti, hanya dalam waktu sehari, perdebatan telah merugikan Ford 56 persen poin.

Sejak itu hampir semua calon presiden AS makin mempersiapkan diri dalam perdebatan. Khususnya perdebatan lewat televisi, yang dipandang sebagai momentum amat menentukan bagi keberhasilan seorang kandidat presiden. Karena begitu pentingnya pembicaraan, Mark Roeloef menganggap politics is talk (Nimmo, 1993:73). Semua persoalan politik, baik pada waktu kampanye, di parlemen, maupun di pemerintahan, pada dasarnya memerlukan apa yang disebut "pembicaraan". Hakikat politik adalah pembicaraan, konflik kepentingan diturunkan dan diselesaikan melalui pembicaraan. Karena itu, budaya mendudukkan pentingnya pembicaraan dan menghargai perbedaan berpendapat menjadi dasar yang kuat untuk tumbuhnya demokrasi politik. Melalui pembicaraan itulah publik menjadi semakin cerdas.

Apakah hal demikian juga berlaku dalam budaya politik di Indonesia?

Tampaknya mewujudkan suatu sistem demokrasi yang berkualitas di Indonesia memang memerlukan waktu dan proses panjang. Secara empiris, komunikasi politik selama kampanye lalu banyak diwarnai bentuk komunikasi nonverbal. Kampanye yang menggunakan teknik band wagon, seperti melakukan pawai, atau acara yang mengundang massa, pemasangan bendera, gambar, atau baliho, atau berjoget dan bernyanyi, semuanya sarat dengan pesan nonverbal yang menyentuh sisi emosi khalayak. Membuat senang dan membuat semangat, tetapi sama sekali tidak menyentuh wacana pemikiran.

Saat kampanye memang ada jurkam yang pidato. Namun, materi pidato sebenarnya tak begitu penting bagi massa partai. Kehadiran fisik tokoh partai jauh lebih penting dan bermakna daripada materi yang diucapkan. Walau mereka datang hanya meneriakkan kata-kata "Hidup!" atau "Coblos!" dan kemudian mengajak bernyanyi. Tetapi, secara kontekstual, kehadiran tokoh sangat bermakna. Itulah realitas budaya komunikasi politik kita.

Kualitas demokrasi bagaimanapun memang membutuhkan kompetensi tertentu pada semua elemen bangsa. Karena itu, janganlah terlalu berharap pada kampanye calon presiden mendatang. Adu program dan kepiawaian berdebat calon presiden mungkin akan sangat menarik untuk ditonton di televisi. Tetapi, jangan lupa, publik di Indonesia sudah memiliki budaya sendiri dalam menilai tokoh idolanya.

Sumber:

Internet:

http://www.google.com

http://www.um-pwr.ac.id/artikel-publikasi

Buku:

Judul : Komunikasi Politik

Pengarang : Prof. Dr. Anwar Arifin

Penerbit : Balai Pustaka

Tahun terbit : 2003

Kota : Jakarta

Judul : Memahami Ilmu Politik

Pengarang : Ramlan Surbakti

Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia

Tahun terbit : 1992

Kota : Jakarta

Judul : Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek

Pengarang : Prof. Drs. Onong Uchjana Effendy, M.A.

Penerbit : PT Remaja Rosdakarya

Tahun terbit : 2005

Kota : Bandung

Tidak ada komentar: